jump to navigation

TAHLILAN 29 Januari 2011

Posted by jihadsabili in adaB, kematian, yasinan.
add a comment

TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.

Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.

Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.

Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):

Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)

Historis Upacara Tahlilan

Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka.

Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.

Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)

Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)

Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ

“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).

Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ

“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)

Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

KIRIM AL-FATIHAH 29 Januari 2011

Posted by jihadsabili in adaB, kematian, yasinan.
add a comment

Untuknya Kukirim AL-Fatihah..

Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi –hafizhahullah-

surah-al-fatihaAl Fatihah

Pada suatu acara, seorang tokoh dengan serius mengatakan: “Sebelum acara ini kita mulai, marilah kita membukanya dengan bacaan al-Fatihah..” Serempak, para hadirin pun tunduk dan khusyuk membacanya bersama-sama.

Di penghujung acara, seorang tokoh diminta menutup acara dengan doa, maka dia pun menghadiahkan doanya untuk para wali yang telah meninggal dunia, lalu mengatakan: “Al-Fatihah ala hadhroti syaikhina wa waliyyina..”

Kasus-kasus serupa mungkin sering kita jumpai dimasyarakat. Namun, pernahkah kita berfikir bahwa semua itu adalah tata cara beragama yang tidak ada contohnya dan diingkari oleh oleh para ulama?! Marilah kita kaji bersama masalah ini dengan lapang dada.

Teks Hadits

Al-Faatihatu limaa quriat lahu

“Al-Fatihah itu sesuai untuk apa yang dibaca.”

TIDAK ADA ASALNYA. Yakni dengan lafadz ini, demikian juga kebanyakan keutamaan-keutamaan surat yang disebutkan oleh sebagian  ahli tafsir. Demikian dikatakan oleh Syaikh Ali al-Qori. [1]

Jadi hadits dengan lafadz ini tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits. Cukuplah bagi kita keutamaan-keutamaan surat al-Fatihah yang shohih [2] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah sabda beliau:

“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca induk al-Qur’an (al-Fatihah).

Mengkritisi Matan

Hadits ini dijadikan dasar oleh sebagian kalangan untuk memulai segala hajat dengan membaca “al-Fatihah..”

Oleh karena itulah, Syaikh Ali al-Qori rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan landasan amalan manusia yang sudah menjadi adapt yaitu membaca al-fatihah untuk mendapatkan kebutuhan mereka.” [4] Namun hal ini belum cukup untuk sebagai dasar karena harus diteliti terlebih dahulu derajat hadits tersebut.[5] Dan ternyata telah terbukti bahwa hadits tersebut adalah tidak ada asalnya sehingga tidak bisa dijadikan dasar dalam agama.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata setelah menjelaskan keutamaan-keutamaan surat al-Fatihah yang shohih: “Dinamakan al-Fatihah (pembukaan) karena surat ini adalah pembuka dalam mushaf al-Qur’an dan bacaan pembuka dalam shalat, namun bukan berarti segala sesuatu dibuka dengan bacaan al-Fatihah.

Sebagian manusia pada zaman sekarang telah membuat suatu hal baru dalam agama tentang surat ini, mereka menutup doa dengannya dan memulai khutbah serta acara dengan mengatakan “al-Fatihah”!! Maka ini adalah suatu kesalahan, sebab agama ini dibangun di atas dalil dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Syaikh Amr bin Abdul Mun’im hafizhahulah tatkala menyebutkan bid’ah-bid’ah seputar al-Qur’an yakni bacaan al-Fatihah ketika akad nikah atau pembukaan acara dan sebagainya, katanya: “Bid’ah ini begitu menyebar sekali sehingga masuk ke setiap negeri Islam, bahkan ada yang berkeyakinan bahwa akad-akad ini tidak akan mendapatkan berkah bila tidak dibuka terlebih dahulu dengan al-Fatihah, padahal semua itu tidak ada asalnya dalam syariat. Tetapi yang disyariatkan adalah membuka acara dengan khutbah hajah.” [7]

Kirim Pahala Bacaan al-Fatihah

Menghadiahkan bacaan al-Qur’an untuk yang sudah meninggal dunia tidak pernah di nukil dari  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan juga tidak seorang pun dari  imam kaum muslimin. Seandainya hal itu baik, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat adalah orang yang terdepan mengamalkannya.

Banyak para ulama yang menegaskan bid’ahnya budaya kirim al-Fatihah kepara ruh fulan dan sebagainya [8]. Berikut beberapa nukilan, di antaranya:

  1. al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah berkata: “Do’a ini dibuat-buat, tidak ada asalnya dalam sunnah.”[9]
  2. al-Hafizh as-Sakhowi rahimahullah berkata: “Saya ditanya tentang kebiasaan manusia usai sholat. Mereka membaca al-Fatihah dan menghadiahkannya kepada kaum muslimin yang hidup dan mati, maka saya jawab: “Cara seperti ini tidak ada contohnya, bahkan ini termasuk kebid’ahan dalam agama.”[10]
  3. Ad-Dirdir rahimahullah berkata: “Sebagian umam kami (madzhab Malikiyyah) menegaskan bahwa membaca al-Fatihah dan menghadiahkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya di benci. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ini adalah do’a yang dibuat-buat oleh para pembaca al-Qur’an belakangan dan saya tidak mengetahui salaf yang mendahului mereka.”[11]
  4. Syaikh Muhammad Rosyid Ridhi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa apa yang populer di kampung dan kota berupa bacaan al-Fatihah untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia tidak ada haditsnya yang shohih maupun dho’if. Bahkan hal itu termasuk kebid’ahan yang sesat berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu. Hanya saja karena orang-orang yang dianggap alim diam maka seakan-akan menjadi perkara yang sunnah muakkad atau bahkan wajib.”[12]
  5. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Adapun menghadiahkan al-Fatihah atau selainnya kepada orang-orang yang mati maka tidak ada dalilnya. Hendaknya hal itu ditinggalkan karena tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Namun disyariatkan berdo’a, shodaqoh, haji, umroh, membayar hutang dan sebagainya bagi yang telah meninggal yang telah jelas dalilnya bahwa hal itu bermanfaat bagi mayit.”[15]

Sampaikah Kiriman Pahalanya?

Masalah ini diperselisihkan oleh ulama. Namun pendapat yang kuat dalam masalah ini bahwa pahala kiriman tersebut tidak sampai[14], sebab tidak ada dalil yang mengatakan sampainya. Karena ibadah itu dibangun di atas dalil, bukan logika dan analogi. Ini merupakan madzhab Syafi’i. Imam Ibnu Katsir berkata ketika menjelaskan surat an-Najm ayat 38:

“(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” [QS.an-Najm/53: 38]

“Yakni sebagaimana dia tidak memikul dosa orang lain, dia juga tidak akan mendapatkan pahala kecuali apa yang dia usahakan sendiri. Dari ayat inilah imam Syafi’i rahimahullah dan para pengikutnya beristinbath (mengambil hukum) bahwa pahala hadiah bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada si mayit, karena hal itu bukan dari amalan dan usahanya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan kepada umatnya, dan tidak menganjurkan serta menyuruh umatnya baik secara nash (dalil yang jelas) maupun secara isyarat. Perbuatan ini juga tidak dinukil dari seorang sahabat pun. Seandainya perbuatan itu baik,  tentu mereka adalah orang yang terdepan mempraktekkannya. Masalah ibadah hanyalah berdasar pada dalil, bukan akal pikiran dan pendapat manusia. Adapun doa dan sedekah maka hal itu telah menjadi kesepakatan akan sampainya pahala tersebut kepada mereka.” [15]

Jangan Salah Sangka

Perlu kami tegaskan disini bahwa tulisan ini bukan bermaksud melarang memabca surat al-Fatihah atau merendahkan al-Qur’an. Demi Allah azza wa jalla, bukan demikian maksudnya, tetapi tujuan kami hanyalah ingin meluruskan hal-hal yang tidak ada ajarannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga ibadah kita sesuai dengan tuntunan beliau.Maka janganlah engkau tertipu dengan silat lidah ahli bid’ah yang menuduh ahli sunnah tatkala mengingkari ritual seperti ini dengan ucapan mereka: “Mereka adalah Wahhabi!! Melarang manusia dari dzikir dan membaca al-Qur’an! Tidak suka bacaan al-Qur’an dan Sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam!!”

Dari Said bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan sholat setelah fajar lebih dari dua roka’at. Ia memanjangkan ruku dan sujudnya. Akhirnya Said bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah azza wa jalla akan menyiksaku dengan sebab sholat? Beliau menjawab: “Tidak, tetapi Allah azza wa jalla akan menyiksamu karena menyelisihi as Sunnah.”[16]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengomentari atsar ini: “Ini adalaha jawaban Said bin Musayyib yang sangat indah. Dan merupakan senjata pamungkas terhadap ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan sholat, kemudian membantai ahlus sunnah dan menuduh mereka (Ahlus Sunnah) mengingkari dzikir dan sholat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlu bid’ah dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dzikir, sholat dan lain-lain.” [17]

Demikianlah penjelasan singkat masalah ini. Semoga bermanfaat. Amin.

Footnote:

[1] al-Mashnu’ fi Ma’rifatil Hadits al-Maudhu’ oleh Mula Ali al-Qori hal.127. Dan apa yang beliau katakan bahwa kebanyakan fadhilah (keutamaan) surat al-Qur’an adalah lemah memang benar. Lihat ad-Durr al-Multaqoth fi Tabyin al-Golath, karya ash-Shoghoni hal.51 dan al-Mughni ‘anil Hifdzi wal Kitab karya al-Mushili hal.121-122
[2] Lihat ad-Duror min Shohihi Fadhoilil Ayat wa Suwar oleh Dr.Fakhruddin bin Zubair al-Muhassi cet.Dar Atsariyah
[3] Mutawatir, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Bukhari dalam Juz’ul Qiro’ah hal.4 dan al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal.103
[4] Al-Asror al-Marfu’ah hal.252
[5] Lihat Ta’liq Syaikh Muhammad bin Lutfhi as-Sobbagh atas al-Asror al-Marfu’ah hal.252
[6] Tafsir al-Qur’an al-Karim ¼ dan Syarh Mumti’ 3/61
[7] as-Sunan wal Mubtada’at fil Ibadat hal.227
[8] Kami hanya menukil komentar ulama yang berkaitan khusus tentang kirim bacaan al-Fatihah. Adapun budaya kirim pahala secara umam, maka banyak sekali nukilan komentar mereka, Lihatlah dalam Muqoddiman Syaikh Syaukat bin Rifqi terhadap kitab Majmu’ Rosail Fi Hukmil Ihda’ Tsawabi Qiro’atil Qur’an Lil Amwat, cet. Dar Atsariyyah.
[9] Al-Fatawa al-Haditsiyyah hal.23 oleh al-Haitsami
[10] Al-Ajwibah al-Mardhiyyah 2/721
[11] Asy-Syarh Kabir 2/10
[12] Tafsir al-Manar Surat al-An’am hal.164
[13] Majalah al Buhuts al-Islamiyyah edisi 28 hal.108
[14] Lihat masalah ini secara luas dalam Hukmul al-Qiro’ah lil Amwat hal Yashilu Tsawabuha Ilaihim? Karya Syaikh Muhammad Ahmad Abdussalam, ta’liq oleh Abdul Aziz al-Juhani. Syaikh Mushtofa al-Adawi berkata tentang kitab ini: “Departemen agama Mesir telah menerbitkan sebuah risalah berharga yang disusun oleh  Muhammad Ahmad Abdussalam, beliau telah mengumpulkan perkataan para ulama ahli tafsir, hadits, fiqih, ushul, dan madzhab. Kemudian menyimpulkan bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai pahalanya kepada si mayit. Beliau juga mengikis habis beberapa argument yang rapuh dalam masalah ini.” [Ash-Shohihul Musnad Min Adzmaril yaum wa Lailah hal.331]
[15] Tafsir al-Qur’anil Adzim surat an-Najm hal.38
[16] Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam Sunan Kubro 2/466 dishohihkan al-Albani dalam Irwaul Gholil 2/236
[17] Irwaul Gholil 2/236

Sumber: Disalin ulang dari Majalah al Furqon Edisi 10 Tahun Kesembilan Jumadil Ula 1431 [April/Mei 2010] Hal.14-16
Artikel: http://alqiyamah.net

KIRIM BACAAN AL-QUR’AN 29 Januari 2011

Posted by jihadsabili in adaB, yasinan.
add a comment

Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Al-Imam Syafi’i

 

Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Firman Allah Jalla wa ‘Alaa.

“Artinya : Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali apa yang telah ia usahakan” [An-Najm : 38-39]

Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas.

“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.

Dan dari ayat yang mulia ini Al-Imam Asy-Syafi’iy bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum :

“Bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka”.

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada). Dan tidak pernah dinukil dari seorangpun shahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati).

Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentu para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya [1]. Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran)” [2]

Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

“Tidak menjadi kebiasaan salaf, apabila mereka shalat sunnat atau puasa sunnat atau haji sunnat atau mereka membaca Qur’an lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari kaum muslimin. Maka tidaklah boleh berpaling (menyalahi) perjalanan salaf. Karena sesungguhnya kaum salaf itu lebih utama dan lebih sempurna” [Dari Kitab Al-Ikhtiyaaraat Ilmiyyah]

Keterangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa bacaan Al-Qur’an bukan untuk orang yang telah mati akan tetapi untuk orang yang hidup. Membaca Qur’an untuk orang yang telah mati hatta untuk orang tua dan menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada mereka, adalah perbuatan yang sama sekali tidak berdalil bahkan menyalahi Al-Qur’an sendiri dan Sunnah dan perbuatan para shahabat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir yang mengambil dari Al-Imam Asy-Syafi’iy yang dengan tegas mengatakan bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang yang telah mati. Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak pernah diamalkan oleh kaum salaf.

Dari sini kita mengetahui, bahwa membaca Qur’an untuk orang yang telah mati tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ada, tentulah para shahabat yang pertama mengamalkannya sebelum orang lain. Kemudian amalan itu akan dinukil oleh tabi’in dan tabi’ut tabi’in termasuk Syafi’iy di dalamnya yang beritanya akan mencapai derajat mutawatir atau sekurang-kurangnya masyhur. Kenyataan yang ada sebaliknya, mereka sama sekali tidak pernah mengamalkannya sedikitpun.

Adapaun yang menyalahi Al-Kitab ialah.
[1]. Bahwa Al-Qur’an bacaan untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Agar supaya Al-Qur’an itu menjadi peringatan bagi orang-orang yang hidup” [Yasin : 70]

[2]. Al-Qur’an itu hidayah/petunjuk bagi manusia

[3]. Al-Qur’an juga memberikan penjelasan dari petunjuk tersebut yang merupakan dalil dan hujjah.

[4]. Al-Qur’an juga sebagai Al-Furqan pembela antara yang hak dengan yang batil. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Bulan ramadlan yang diturunkan di dalamnya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan baiyinaat (penjelasan-penjelasan yang merupakan dalil-dalil dan hujjah yang terang) dari petunjuk tersebut dan sebagai Al-Furqan” [Al-Baqarah : 185]

[5]. Di dalam Al-Qur’an penuh dengan larangan dan perintah. Dan lain-lain masih banyak lagi yang semuanya itu menjelaskan kepada kita bahwa Al-Qur’an adalah untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati. Mungkinkah orang-orang yang telah mati itu dapat mengambil hidayah Al-Qur’an, mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya dan lain-lain?.

Adapun sunnah terlalu banyak haditsnya yang tidak memungkinkan bagi saya menurunkan satu persatu kecuali satu hadits di bawah ini.

“Artinya : Dari Abu Hurairah : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu itu sebagai kuburan. Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah” [Hadits Shahih riwayat Muslim 2/188]

Hadits ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita di antaranya:

[1]. Rumah yang tidak dikerjakan ibadah di dalamnya seperti shalat sunat dan tilawah (membaca) Al-Qur’an, Nabi samakan dengan kuburan.

[2]. Mafhumnya (yang dapat dipahami) bahwa kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya…?

[3]. Sekali lagi kita memahami dari sunnah nabawiah bahwa Qur’an bukanlah bacaan untuk orang-orang yang telah mati. Kalau Qur’an itu boleh dibacakan untuk orang-orang yang telah mati tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyamakan rumah yang di dalamnya tidak dibacakan Qur’an dengan kuburan! Dan tentulah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kamu seperti kuburan!!!”.

Sungguh benar apa yang telah dikatakan Ibnu Katsir : “Tidak dinukil dari seorangpun shahabat bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati. Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya (Laukana khairan lasabakuna ilaihi)”.

Saya berkata : “Inilah rahasia yang besar dan hikmah yang dalam bahwa tidak ada seorangpun shahabat yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masalah membacakan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati dan menghadiahkan pahala bacaannya hatta untuk orang tua mereka sendiri. Di mana mereka bertanya tentang sedekah, puasa nadzar dan haji untuk orang tua mereka yang telah wafat. Kenapa mereka tidak bertanya tentang Qur’an atau shalat atau dzikir atau mengirim Al-Fatihah untuk orang tua mereka yang telah wafat?

Jawabnya, kita perlu mengetahui kaidah besar tentang para shahabat. Bahwa para shahabat adalah aslam (yang paling taslim atau menyerah kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya) dan a’lam (yang paling mengetahui tentang agama Islam) dan ahkam (yang paling mengetahui tentang hukum dan paling tepat hukumnya). Oleh karena itu mereka sangat mengetahui bahwa bacaan Qur’an bukan untuk orang-orang yang telah mati akan tetapi bacaan untuk orang yang hidup.

KESIMPULAN
[1]. Bahwa Al-Qur’an untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang telah mati.

[2]. Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit bertentangan dengan Al-Qur’an sendiri dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ijma’ para shahabat. Dengan demikian perbuatan tersebut tidak ragu lagi adalah BID’AH MUNKAR. Karena amalan tersebut tidak pernah terjadi pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada zaman shahabat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkannya hatta dengan isyarat. Dan para shahabat tidak pernah mengamalkannya sedikit pun juga..

[3]. Menurut Imam Syafi’iy bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang telah mati.

[4]. Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati menghilangkan sebagian dari maksud diturunkannya Al-Qur’an.

[5]. Kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya.

[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]
__________
Foote Note
[1]. Peganglah kuat-kuat kaidah yang besar ini! Bahwa setiap amal kalau itu baik dan masuk ke dalam ajaran Islam tentulah diamalakan lebih dahulu oleh para shahabat. Mafhumnya, kalau ada sesuatu amal yang diamalkan oleh sebagian kaum muslimin akan tetapi para shahabat tidak pernah mengamalkannya, maka amal tersebut jelas tidak baik dan bukan dari Islam.
[2]. Di dalam kaidah ushul yang telah disepakati “apabila nash (dalil) telah datang batallah segala ra’yu/pikiran

Bacaan Surat Yasin Bukan Untuk Orang Mati 29 Januari 2011

Posted by jihadsabili in yasinan.
add a comment

Bacaan Surat Yasin Bukan Untuk Orang Mati


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

HADITS PERTAMA

مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَاقْرَؤُوْهَا عِنْدَ مَوْتَاكُمْ.

“Barangsiapa membaca surat Yaasiin karena mencari ke-ridhaan Allah Ta’ala, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Oleh karena itu, bacakan-lah surat itu untuk orang yang akan mati di antara kalian.”
[HR. Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman]

Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ) LEMAH
Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir (no. 5785) dan Misykatul Mashaabih (no. 2178).

HADITS KEDUA

مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ يَس غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ.

“Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap Jum’at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni (dosa)nya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya.”

Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) PALSU
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy (I/286), Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan (II/344-345) dan ‘Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Sunannya (II/91) dari jalan Abu Mas’ud Yazid bin Khalid. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar secara marfu’.

Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 50).

Dalam hadits ini ada ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan ats-Tsaubani. Kata Ibnu ‘Adiy: “Ia sering mencuri hadits dan menyampaikan hadits-hadits yang BATHIL.”

Setelah membawakan hadits ini, Ibnu ‘Adiy berkata: “Sanad hadits ini BATHIL, dan ‘Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits.”

Kata Imam Daruquthni: “Ia sering memalsukan hadits.”
Periksa: Mizaanul I’tidal (III/260-261 no. 6371), Lisanul Mizan (IV/364-365).

Penjelasan Hadits-Hadits di Atas
Hadits-hadits di atas sering dijadikan pegangan pokok tentang dianjurkannya membaca surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang naza’ (sakaratul maut) dan ketika ber-ziarah ke pemakaman kaum Muslimin terutama ketika menziarahi kedua orangtua. Bahkan sebagian besar kaum Muslimin menganggap hal itu ‘Sunnah’? Maka sekali lagi saya jelaskan bahwa semua hadits-hadits yang me-nganjurkan itu LEMAH, bahkan ada yang PALSU, se-bagaimana yang sudah saya terangkan di atas dan hadits-hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah, karena itu, orang yang melakukan demikian adalah berarti dia telah ber-buat BID’AH. Dan telah menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah yang menerang-kan apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan ketika berziarah ke kubur.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Membacakan surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan membaca al-Qur-an (membaca surat Yaasiin atau surat-surat lainnya) ketika berziarah ke kubur adalah BID’AH DAN TIDAK ADA ASALNYA SAMA SEKALI DARI SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG SAH.

Lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 20, 241, 307 & 325), cet. Maktabah al-Ma’arif.)

Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam Ketika Ada Orang Yang Sedang Dalam Keadaan Naza’

Pertama: Di-talqin-kan (diajarkan) dengan ‘Laa Ilaaha Illallah’ agar
ia (orang yang akan mati) mengucapkan “لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (Laa Ilaaha Illallah).”

Dalilnya:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ.

“Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ajarkanlah ‘Laa Ilaaha Illallah’ kepada orang yang hampir mati di an-tara kalian.”

Hadits SHAHIH, riwayat Muslim (no. 916), Abu Dawud (no. 3117), an-Nasa-i (IV/5), at-Tirmidzi (no. 976), Ibnu Majah (no. 1445), al-Baihaqi (III/383) dan Ahmad (III/3).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kalimat Tauhid ini yang terakhir diucapkan, supaya dengan demikian dapat masuk Surga.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

“Barangsiapa yang akhir perkataannya ‘Laa Ilaaha Illallah,’ maka ia akan masuk Surga.”

Hadits riwayat Ahmad (V/233, 247), Abu Dawud (no. 3116) dan al-Hakim (I/351), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.

Kedua: Hendaklah mendo’akan kebaikan untuknya dan kepa-
da mereka yang hadir pada saat itu. Hendaknya mereka berkata yang baik.

Dalilnya:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيْضَ أَوِ الْمَيِّتَ فَقُوْلُوْا: خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَّمِّنُوْنَ عَلَى مَا تَقُوْلُوْنَ.

“Dari Ummu Salamah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Apabila kalian menjenguk orang sakit atau berada di sisi orang yang hampir mati, maka katakanlah yang baik! Karena sesungguhnya para malaikat mengaminkan (do’a) yang kalian ucapkan.’”

Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no. 919) dan al-Baihaqi (III/384) dan selain keduanya.)

Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Ketika Berziarah Ke Pemakaman Kaum Muslimin

Pertama: Mengucapkan salam kepada mereka.

Dalilnya ialah:
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apakah yang harus aku ucapkan kepada mereka (kaum Muslimin, bila aku menziarahi mereka)?” Beliau men-jawab: “Katakanlah:

السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ.

‘Semoga dicurahkan kesejahteraan atas kalian wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada orang yang telah mendahului kami dan kepada orang yang masih hidup dari antara kami dan insya Allah kami akan menyu-sul kalian.’”

Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/221), Muslim (no. 974) dan an-Nasa-i (IV/93), dan lafazh ini milik Muslim.

Buraidah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para Shahabat) apabila mereka memasuki pemakaman (kaum Muslimin) hendaknya mengucapkan:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.

‘Mudah-mudahan dicurahkan kesejahteraan atas kalian, wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Kami mohon kepada Allah agar mengampuni kami dan kalian.’”

Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no.975), an-Nasa-i (IV/94), Ibnu Majah (no. 1547), Ahmad (V/353, 359 & 360). Lafazh hadits ini adalah lafazh Ibnu Majah.

Kedua: Mendo’akan serta memohonkan ampunan bagi mereka.

Dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْبَقِيْعِ فَيَدْعُوْ لَهُمْ فَسَأَلَتْهُ عَائِشَةُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنِّيْ أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَ لَهُمْ.

“‘Aisyah berkata: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke Baqi’ (tempat pemakaman kaum Muslimin), lalu beliau mendo’akan mereka.” Kemudian ‘Aisyah bertanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Se-sungguhnya aku diperintah untuk mendo’akan mereka.”

Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/252).

Baca Al-Qur-an Di Pemakaman Menyalahi Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Hadits-hadits yang saya sebutkan di atas tentang Adab Ziarah, menunjukkan bahwa baca al-Qur-an di pemakaman tidak disyari’atkan oleh Islam. Karena seandainya disya-ri’atkan, niscaya sudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pasti sudah mengajarkannya kepada para Shahabatnya.

‘Aisyah ketika bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang harus diucapkan (dibaca) ketika ziarah kubur? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajar-kan salam dan do’a. Beliau tidak mengajarkan baca al-Fatihah, baca Yaasiin, baca surat al-Ikhlash dan lainnya. Seandainya baca al-Qur-an disyari’atkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya.

Menurut ilmu ushul fiqih:

تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ.

“Menunda keterangan pada waktu keterangan itu dibu-tuhkan tidak boleh.”

Kita yakin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menyembunyikan ilmu dan tidak pernah pula beliau mengajarkan baca al-Qur-an di pemakaman. Lagi pula tidak ada satu hadits pun yang sah tentang ma-salah itu.

Membaca al-Qur-an di pemakaman menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita membaca al-Qur-an di rumah:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ .
رواه مسلم رقم : (780) وأحمد والتّرميذي وصححه

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena se-sungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.”

Hadits riwayat Muslim (no. 780), Ahmad (II/284, 337, 387, 388) dan at-Tirmidzi (no. 2877) serta ia menshahih-kannya.

Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa pemakaman menurut syari’at Islam bukanlah tempat untuk membaca al-Qur-an, melainkan tempatnya di rumah, dan melarang keras menjadikan rumah seperti kuburan, kita dianjurkan membaca al-Qur-an dan shalat-shalat sunnat di rumah.

Jumhur ulama Salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam-imam yang lainnya melarang membaca al-Qur-an di pemakaman, dan inilah nukilan pendapat mereka:

Pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud berkata dalam kitab Masaa-il Imam Ahmad hal. 158: “Aku mende-ngar Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang baca al-Qur-an di pemakaman? Beliau menjawab: “Tidak boleh.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dari asy-Syafi’i sendiri tidak terdapat perkataan tentang masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahwa (baca al-Qur-an di pemakaman) menurut beliau adalah BID’AH. Imam Malik berkata: ‘Tidak aku dapati seorang pun dari Sha-habat dan Tabi’in yang melakukan hal itu!’”

Lihat Iqtidhaa’ Shirathal Mustaqim (II/264), Ahkaamul Janaa-iz (hal. 241-242).

Pahala Bacaan Al-Qur-an Tidak Akan Sampai Kepada Si Mayyit

Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya.” [QS. An-Najm: 53]

Beliau rahimahullah berkata:

أَيْ: كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ، كَذَلِكَ لاَ يَحْصُلُ مِنَ اْلأَجْرِ إِلاَّ مَاكَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَهُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إِهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى، ِلأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَكَسْبِهِمْ وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ، وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أَرْشَدَهُمْ إِلَيْهِ بِنَصٍّ وَلاَ إِيْمَاءٍ، وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَلَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ، وَبَابُ الْقُرَبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ، وَلاَ يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بِأَنْوَاعِ اْلأَقْيِسَةِ وَاْلأَرَاءِ.

“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseo-rang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikuti beliau ber-istinbat (mengambil dalil) bahwasanya pahala bacaan al-Qur-an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka.

Tentang (mengirimkan pahala bacaan kepada mayyit) tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-nyunnahkan ummatnya, tidak pernah mengajarkan ke-pada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula ada seorang Shahabat pun yang melakukan demikian. Seandainya masalah membaca al-Qur-an di pemakaman dan menghadiahkan pahala bacaannya baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal Qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya diboleh-kan berdasarkan nash (dalil/contoh) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat.”

Periksa Tafsir Ibni Katsir (IV/272), cet. Darus Salam dan Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. Maktabah al-Ma’arif.

Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369).

Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220-221), cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1412 H.

Allah berfirman tentang al-Qur-an:

“Supaya ia (al-Qur-an) memberi peringatan kepada orang yang HIDUP…” [Yaasiin: 70]

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci.” [Muhammad: 24]

Yang wajib juga diperhatikan oleh seorang Muslim adalah, tidak boleh beribadah di sisi kubur dengan me-lakukan shalat, berdo’a, menyembelih binatang, ber-nadzar atau membaca al-Qur-an dan ibadah lainnya. Tidak ada satupun keterangan yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya bahwa mereka melakukan ibadah di sisi kubur. Bahkan, ancaman yang keraslah bagi orang yang beribadah di sisi kubur orang yang shalih, apakah dia wali atau Nabi, terlebih lagi dia bukan seorang yang shalih.[1]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras terhadap orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.

“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani (karena)
mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” [2]

Tidak ada satu pun kuburan di muka bumi ini yang mengandung keramat dan barakah, sehingga orang yang sengaja menuju kesana untuk mencari keramat dan ba-rakah, mereka telah jatuh dalam perbuatan bid’ah dan syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan sengaja mengada-kan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari keramat dan barakah dan mengadakan ibadah di sana. Hal ini dilarang dan tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah dan sarana yang menjurus kepada kesyirikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِيْ هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.

“Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tuju-an beribadah) kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.”[3]

Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjur-kan ziarah ke pemakaman kaum Muslimin dengan me-ngucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni dan diberikan rahmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]

Wallaahu a’lam bish shawab.

MARAJI’
1.Tafsir Ibni Katsir, cet. Daarus Salam, th. 1413 H.
2. Shahih al-Bukhary.
3. Shahih Muslim.
4. Sunan Abi Dawud.
5. Sunan an-Nasaa-i.
6. Sunan Ibni Majah.
7. Musnad Imam Ahmad.
8. Sunanul Kubra’, oleh al-Baihaqy.
9. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hakim.
10. Syu’abul Iman, oleh Imam al-Baihaqy.
11. Dha’if Jami’ush Shaghir, oleh Imam Muhammad Na-shiruddin al-Albany.
12. Misykatul Mashabih, tahqiq: Imam Muhammad Na-shiruddin al-Albany.
13. Al-Kamil fii Dhu’afaa-ir Rijal, oleh Imam Ibnu ‘Ady.
14. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
15. Lisanul Mizan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
16. Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah al-Ma’arif.
17. Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq dan ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Muham-mad Zuhair asy-Syawaisy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1403 H.
18. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid, oleh Syaikh ‘Ab-durrahman bin Hasan Alu Syaikh, tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Alu Furayyan.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_______
Footnote
[1]. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid hal. 18: “Sebab kekufuran anak Adam dan mereka meninggalkan agama mereka adalah karena ghuluww (berlebihan) kepada orang-orang shalih.” Dan bab 19: “Ancaman keras kepada orang yang beribadah kepada Allah di sisi kubur orang yang shalih, bagaimana jika ia menyembahnya??!” Ditulis oleh Syaikh ‘Ab-durrahman bin Hasan Alu Syaikh, wafat th. 1285 H, tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Alu Furayyan.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 435, 1330, 1390, 3453, 4441), Muslim (no. 531) Ahmad (I/218, VI/21, 34, 80, 255), dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 1189) dan Muslim (no. 1397 (511)) dari Abu Hu-rairah radhiyallahu ‘anhu dan diriwayatkan juga oleh al-Bukhari (no. 1197, 1864, 1995) dan Muslim (no. 827) dari Abu Sa’id al-Khudri ra-dhiyallahu ‘anhu, derajatnya mutawatir. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/226, no. 773).
[4]. Silahkan merujuk kepada kitab saya Do’a & Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah hal. 97-99.

Surat Yasin Hatinya Al-Qur’an 28 Desember 2010

Posted by jihadsabili in yasinan.
add a comment

Surat Yasin Hatinya Al-Qur’an

Banyak hadits-hadits yang tersebar di kalangan masyarakat menjelaskan keutamaankeutamaan sebaian surat-surat Al-Qur’an. Namun sayangnya, banyak diantara hadits itu yang lemah, bahkan palsu. Maka cobalah perhatikan hadits berikut:

إن لكل شيء قلبا, وإن قلب القرآن (يس) , من قرأها فكأنما قرأ القرآن عشر مرات

“Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat Yasin. Barang siapa yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qua’an sebanyak 10 kali”. [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)]

Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat dua rawi hadits yang tertuduh dusta, yaitu: Harun Abu Muhammad, dan Muqotil bin Sulaiman. Karenanya, Ahli Hadits zaman ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- menggolongkannya sebagai hadits palsu dalam kitabnya As-Silsilah Adh-Dho’ifah (no.169).

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 19 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Makanan Pada Acara Tahlilan dan Yasinan 8 Desember 2010

Posted by jihadsabili in kematian, yasinan.
add a comment

Makanan Pada Acara Tahlilan dan Yasinan

 

 

A.Asal Hukum segala sesuatu di bumi adalah halal bagi manusia

 

Agama islam yang sempurana telah menjelaskan perkara perkara yang diharamkan dengan terperinci, begitu juga dengan makanan-makanan, segala makanan yang diharamkan diterangkan dalam Al Quran dan As Sunnah, sehingga makanan apa saja yang tidak termasuk kategori sebagai barang haram dikembalikan kedalam hukum makanan yaitu halal dan mubah, karena semua yang ada didunia ini diciptakan Allah ta’ala untuk kebutuhan manusia, kecuali yang diharamkan Allah ta’ala :

 

Dialah Alah yang telah menciptakan segala sesuatu dimuka bumi buat kalian” (AL Baqarah 29)

Dan Allah ta’ala mengingkari orang orang yang mengharamkan sesuatu tanpa disertai dalil yang sah sebagaimana firman Nya…

 

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui (Al A’raf 32)

 

B. Makanan yang Haram Telah di jelaskan secara terperinci.

 

Begitu banyaknya makanan yang halal bagi manusia sehingga Allah Yang Maha Bijaksana menjelaskan apa saja yang halal secara global saja (sebagaimana firmannya dalam QS. Al-Arof 157) atau melalui sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits hadits nya yang shohih (sebagimana dalam riwayat bukhari dan Muslim yang dinyatakan bahwa setiap binatang buas yang bertaring, burung yang menggnakan cakarnya untuk memangsa makanannya, keledai jinak, hewan pemakan kotoran/bangkai, semuanya dijelaskan oleh Rasulullah hukum keharamannya),

Sehingga apa saja yang tidak termasuk dalam kategori makanan yang diharamkan , atau tidak ada dalil haram dan halalnya, maka kembali kepada asal hukum makanan adalah halal, (perkataan Imam Syafii dinukil dari at Ta’liqatur Radhiyah ‘alar Roudhotiin Nadiyah (3/36) )

 

Maka kita harus mengetahui makanan apa saja yang diharamkan oleh Allah ta’ala dan RasulNya shalallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana yang telah dijelaskan dalam semua kitab-kitab fiqh dalam berbagai madzhabnya, supaya kita selamat dari makanan makanan yang diharamkan sedangkan kita tidak mengetahuinya.

 

Adapun tentang sembelihan, maka telah dijelaskan sembelihan yang halal dan yang haram dalam Al Quran dan As Sunnah , dan sembelihan yang haram adalah yang ditujukan untuk selain Allah ta’ala atau disebut nama selain Allah ta’ala atau yang disembelih dihadapan berhala berhala.

Dan sembelihan yang halal adalah sembelihan yang memenuhi syarat dalam syariat islam, diantara syarat syarat itu adalah :

Satu : Berniat menyembelih, baik seorang laki laki atau perempuan, baik seorang muslim atau ahli kitab, (lihat surat Al Maidah 5 ) karena segala malan tergantung pada niatnya.

 

Dua : Dengan alat yang tajam seperti pisau dan sebagainya bukan dengan kuk dan gigi, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam (lihat Adh Dhakatus Syar’iyah wa Ahkamuha oleh Syaikh Sholih bin Fauzan al Fauzan)

Hewan yang (disembelih dengan alat yang tajam) sampai mengeluarkan darah, maka makanlah asalkan bukan dengan gigi dan kuku” (HR. Bukhari no. 5498)

 

Tiga : Dengan menyebut nama Allah ta’ala dan tidak disertai menyebut nama selain Allah ta’ala sebagaimana Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam :

Hewan yang disembelih sampai mengalirkan darah, dan disebut nama Allah ta’ala maka makanlah” (HR. Bukhari 5/155)

 

Empat : Tidak dipersembahkan untuk berhala, sebagaimana firman Allah ta’ala yang maknanya :

(termasukyang diharamkan) adalah apa apa yang disembelih (dipersembahkan) untuk berhala” Al Maidah 3

 

C. Hukum Makanan Acara Tahlilan dan Yasinan

 

Dari penjelasan diatas , bisa kita ketahui bahwa makanan dan semebelihan yang diadakan pada acara acara seperti tahlilan dan yasinan hukum asalnya adalah halal, karena sembelihan dan makanan kaum muslimin walaupun berbeda madzhabnya adalah halal.

 

Kecuali apabila seorang yang menyembelih adalah ahli bid’ah dengan kebid’ahan yang sampai derajat kepada derajat kekufuran, maka sembelihannya haram hukumnya (karena ahli bid’ah yang telah dihukumi kafir telah menjadi murtad, sedangkan sembelihan yang halal buat kaum muslimin adalah sembelihan seorang muslim dan ahli kitab saja -lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa ‘ wal bida’ 1/339)

 

Begitu Juga yang termasuk diharamkan adalah sembelihan yang tidak disebut nama Allah a’ala (lihat Ta’liqatur Radhiyah ‘alar Roudhotiin Nadiyah 3/67-68).

Sebagai misal , seseorang yang yang menganggap dirinya sebagai wali, meyakini bahwa dirinya tahu tentang ghoib padahal yang tahu tentang ghaib hanyalah Allah ta’ala, dan kemudioan telah ditegakkan hujjah atasnya, dijelaskan kepadanya dalil dalil dari al quran dan As Sunnah, dan dia telah mengetahui bahwa keyakinannya adalah suatu kebid’ahan dan kekufuran, akan tetapi dia tetap pada keyakinannya, bahkan menda’wahkan kesesatannya, sehingga para ulama menghukumi orang tersebut telah keluar dari Islam disebabkan bid’ahnya, maka sembelihan orang ini haram hukumnya.

 

Sedangkan orang orang yang membuat aneka ragam makanan atau menyembelih binatang pada waktu tahlilan dan yasinan, apabila mereka bermaksud untuk bersedekah kepada masyarakat, dan tidak ditujukan kepada berhala berhala, juga disebut nama Allah ta’ala ketika menyembelih , dan menggunakan alat yang tajam, hanya saja mereka menghadiahkan pahala bacaan Al Quran atau selainnya dalam acara tersebut kepada orang yang telah mati dan ini tidak mempengaruhi kehalalan binatang yang disembelih kecuali apabila benar benar diyakini bahwa mereka menyembelih untuk berhala atau tidak disebut nama Allah ta’ala atau semisal mereka yang menyembelih binatang dengan keyakinan bahwa menyembelih pada acara kematian hari ketiga, tujuh atau empat puluh dan seterusnya kalu diperuntukkan jin- jin, arwah-arwah, atau penghuni-penghuni yang ditakutkan atau menyelamatkan mereka -dan ini termasuk sembelihan/ibadah kepada selain Allah ta’ala- maka hukumnya menjadi haram.

 

Akan tetapi apabila dalam penerimaan makanan acara acara bid’ah terdapat mafsadat, seperti anggapan orang bahwa apabila menerima makanannya berarti mendukung dan memperbolehkan acara tersebut, maka haram bagi kita untuk menerima makanan tersebut. Atau seandainya dengan menolak makanan tersebut menyebabkan orang menjadi tahu bid’ahnya tahlilan, maka menerimanya adalah haram dan menolaknya adlah wajib, karena ini termasuk mengingkari sebuah kemungkaran . Wallahu ‘alam

(disalin dengan penyesuain dari Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan dan Selamatan oleh Al Ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali bin A. Mutholib, Penerbit Pustaka Al Ummat Surakarta, cetakan keempat 2006)