jump to navigation

CINTA YANG TAK MUNGKIN TERBALAS 31 Januari 2011

Posted by jihadsabili in cinta, keluarga, nasehat.
2 comments

CINTA YANG TAK MUNGKIN TERBALAS

Bismillah

Cinta Yang Tak Mungkin Terbalas

Penulis : Al Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An Nawawi

 

Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Begitu bunyi ungkapan yang menggambarkan betapa besar kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Demikianlah realitanya. Betapapun besarnya balas budi seorang anak, ia tidak akan mampu menyamai apa yang telah diberikan orang tua kepadanya. Sudah sepantasnya seorang anak berbuat baik dan menaati perintah orang tua, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.

 

Dimasa-masa terakhir ini, kita dihadapkan pada fenomena pudarnya hukum syariat di tengah-tengah kehidupan keluarga. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari tingginya frekuensi media dalam menampilkan potret kekejian dan kekotoran dalam keluarga

 

Seorang bapak dengan tega mencabut keperawanan anak sendiri. Sampai karena takut dan malu, dengan tidak ada rasa sayang, diapun merengut nyawa anaknya itu. Sebuah lambang kebuasan hidup dan malapetaka yang dahsyat.

 

Ditempat lain, seorang anak tega menzinai ibu sendiri. Kemudian dengan tiada rasa takut, menumpahkan darah sang ibu yang telah mengandung dan menyapihnya dengan segala penderitaan.

 

Semua fakta ini menunjukkan merajalelanya penyakit jahil (kebodohan) dikalangan umat tentang agamanya. Kini, seakan-akan tidak ada lagi yang namanya kasih sayang dalam keluarga. Akibat lebih jauh, rantai pendidikan generasi-generasi Islam pun terancam putus.

 

Akankah semua itu berakhir? Akankah syariat Allah menyentuh qalbu anak-anak yang durhaka? Mengapa orang tua busas terhadap anak sendiri dan anak tega kepada kedua orang tuanya sendiri?

 

Jasamu Wahai Ayah Ibu

Tanpa sadar, air mata akan menetes manakala melihat seorang ibu yang telah renta mengais rezeki dengan cucuran keringat dan beban berat di pundaknya. Semua itu dilakukan demi sesuap nasi untuk kelangsungan hidup anak dan keluarganya. Dimanakan suaminya? Dan apa yang sedang dilakukannya?

 

Disebuah pematang sawah di belahan lain, sepasang orang tua harus diterpa panas matahari menyengat di sekujur tubuhnya, bergulat dengan lumpur yang menguras tenaga. Semuanya dilakukan demi menghidupi diri dan keluarganya. Bukankah yang demikian itu merupakan wujud tanggung jawab dan kasih sayang terhadap diri dan anak-anaknya? Dan jauh sebelum itu, ibu kita telah berkorban dengan pengorbanan yang sekiranya kita bayar dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan sanggup kita untuk menukarnya.

 

Allah-Subhanahu Wa Ta’ala- menjelaskan dalam firman-Nya :

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya yang telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Dan kepada-Ku lah kembalimu.” (Qs. Luqman: 14)

 

Ibnu Katsir –Rahimahullah- dalam Tafsir-nya (4/538) mengatakan: “Allah mengingatkan tentang pengorbanan seorang ibu dan rasa lelah dan berat dengan siap berjaga di malam hari dan siang hari, agar sang anak itu mengingat kebaikan ibunya yang telah dikorbankannya.”

 

As-Sa’di –Rahimahullah- dalam Tafsir-nya mengatakan: “Kelemahan demi kelemahan, hal ini terus menerus menyertai seorang ibu mulai dia menjadi setetes air mani (yang dibuahi), mengidam, sakit, lemah, berat, berubah keadaannya, kemudian sakit ketika melahirkan dan ini yang paling dahsyat.”

 

Karena begitu tinggi pengorbanan kedua orang tua maka janganlah kamu menyombongkan diri di hadapan keduanya dan durhaka. Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- memerintahkan kepadamu agar kamu berterima kasih kepada keduanya.

“Bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua orang tuamu.” (Qs. Luqman: 14)

 

Asy-Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan: “Bagi orang yang menggali Al Qur’an, dia akan banyak menemukan bahwa Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- menggandengkan perintah untuk beribadah kepada-Nya dengan perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Hal yang demikian bisa ditelaah dari beberapa sisi:

 

1. Allah sebagai pencipta dan pemberi rizki, maka Dialah satu-satunya Dzat yang harus disembah. Dan kedua orang tuamu yang menjadi sebab adanya kamu, maka sangat pantas kamu berbuat baik kepada keduanya.

2. Allah telah memberi kenikmatan dan keutamaan atas seluruh hamba sehingga Dia berhak untuk disyukuri. Adapun kedua orang tuamu, dialah yang mencari segala apa yang kamu butuhkan baik makanan, minuman, dan pakaian. Oleh karena itu, mereka berhak mendapatkan sikap syukur darimu.

3. Allah yang telah memelihara dan mendidik hamba-hamba-Nya diatas jalan-Nya, maka Dia berhak untuk mendapatkan pengagungan dan kecintaan. Begitu pula kedua orang tua. Mereka telah memeliharamu sejak kecil, maka keduanya berhak mendapatkan penghormatan darimu, kelemahlembutan, kerendahan diri, beradab denganucapan dan perbuata.” (Bahjatun Nazhirin, 1/391).

 

Dari Abu Hurairah –Radliallahu ‘anhu- berkata:

“Datang seorang kepada Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling patut aku berbuat baik kepadanya?’ Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Ibumu.’ Orang itu berkata: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: ‘Ibumu.’ Orang itu berkata: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Ibumu.’ Orang itu berkata: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Bapakmu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 

Dalam riwayat lain disebutkan:

“’Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak aku temani?’ Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: ‘Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian bapakmu, kemudian (keluargamu) yang paling dekat dan yang paling dekat’.”

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah –Radliallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

“Seorang anak tidak akan sanggup membalas jasa orang tuanya kecuali dia menjumpainya sebagai budak lalu dia membelinya dan memerdekakannya.” (HR. Muslim no. 1510)

 

Hadits ini menjelaskan betapa besar hak kedua orang tua di dalam Islam. (Bahjatun Nazhirin, 1/392).

 

Menaati Perintah Orang Tua

Dalam permasalahan ketaatan kepada orang tua, manusia terbagi menjadi tiga kelompok:

 

Pertama, menaati segala perintah kedua orang uta tanpa melihat perintah tersebut sesuai dengan syariat atau tidak. Hal ini termasuk dari ifrath (melampaui batas).

 

Kedua, tidak mau menaati perintah kedua orang tua walaupun perintah tersebut tidak dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sikap ini adalah tafrith (meremehkan).

 

Ketiga, menaati perintah keduanya selam perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat dan menolak perintah itu bila meyelisihi syariat.

 

Semuanya ini dapat kita lihat dalam kehidupan kaum muslimin sehari-hari. Lalu manakah sikap yang benar dalam menaati perintah keuda orang tua?

 

Adapun kelompok Pertama yang menaati semua perintah orang uta baik perintah tersebut bermaksiat atau tidak, sangat bertentangan dengan apa ayng disabdakan oleh Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

“Tidak ada ketaatan kepada seorang pun didalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu di dalam kebajikan.” (HR. Al-Bukhari no. 40 dan Muslim no. 39 dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib –Radliallahu ‘anhu-)

 

Abu ‘Amr Ad-Dani ‘Utsman bin Sa’id Al-Qurthubi berkata: “Tidak ada ketaatan kepada seorang makluk pun didalam bermaksiat kepada Al-Khaliq. Tidak pula bernadzar dalam bermaksiat dan mensyaratkan dengansyarat yang mengandung maksiat. Ketaatan itu pada perkara yang baik.” (lihat Ar-Risalah Al-Wafiyah hal. 114)

 

Kelompok Kedua yaitu yang tidak mau taat pada apa yang diperintahkan kedua orang tua, baik dalam perkara yang diridhai oleh Allah ataupun tidak. Ini bertentangan dengan firman-Nya:

“Sungguh Rabb-mu telah memerintahkan agar kalian tidak menyebah selain kepada-Nya dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (Qs. Al-Isra’: 23)

 

“Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang telah diharamkan kepada kalian oleh Rabb kalian, yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (Qs. Al-An’am: 151).

 

Juga sangat bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , diantaranya:

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud –Radliallahu ‘anhu- , ia berkata:

“Aku bertanya kepada Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- : ‘Amalah apa yang paling dicintai oleh Allah?’ Beliau berkata: ‘Shalat pada waktunya.’ Aku berkata: ‘Kemudian apa?’ Beliau berkata: ‘Berbuat baik kepada kedua orang tua.’ Aku berkata: ‘Kemudian apa?’ Beliau berkata: ‘Jihad di jalan Allah’.” (HR. Al-Bukhari, 10/336 dan Muslim no. 85)

 

Kelompok Ketiga menaati perintah kedua orangtua selama tidak bertentangan dengan syariat Allah dalam arti tidak dalam rangka bermaksiat. Inilah sikap yang benar sesuai dengan ayat-ayat dan hadits-hadits diatas. Tidak ifrath dan tidak pula tafrith.

 

Sehingga jika ada pertanyaan, bagaimana hukum menaati keuda orang tua? Jawabanya tidak spontan wajib. Namun membutuhkan rincian. Jika perintah Allah, maka wajib untuk menaatinya. Dan apabila perintah tersebut bertentangan dengan-Nya, maka wajib untuk tidak taat kepada perintah keduanya. Dalilnya sebagaimana diatas.

 

Bagaimanan bila orang tua melarang untuk menuntut ilmu agama? Menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap orang. Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (Shahih, HR. Al-Baihaqi dan lainnya dari Anas dan lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahihul Jami’ no. 3913)

 

Allah –Subhanahu Wa Ta’ala- berfirman:

“Berilmulah kamu tentang Laa Ilaha Illallah” (Qs. Muhammad: 19)

 

Kita tidak boleh menaati perintah orang tua apabila mereka memerintahkan untuk tidak menuntut ilmu karena termasuk bermaksiat kepada Allah. Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

“Tidak ada ketaatan kepada mahluk dalam bermaksiat kepada Allah. Akan tetapi ketaatan itu dalam kebajikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 

Wallahu a’lam.

 

 

Dikutip dari Majalah Asy Syariah Vol. I/No.08/1425/Juli 2004 halaman 52-54

“Akibat Buruk Perbuatan Zina Dan Bagaimana Jalan Taubat Dari Zina” 31 Januari 2011

Posted by jihadsabili in adaB, nasehat.
1 comment so far

“Akibat Buruk Perbuatan Zina Dan Bagaimana Jalan Taubat Dari Zina”

Kerusakan Yang Diakibatkan Zina

Zina merupakan kerusakan besar, keburukan nyata, dan pengaruhnya begitu besar yang mengakibatkan berbagai kerusakan, baik terhadap orang yang melakukan maupun terhadap masyarakat secara umum.

Mengingat perbuatan zina ini sudah sering terjadi, demikian juga penyebabnya pun sudah tersebar dimana-mana, maka berikut ini kami akan berusaha menghadirkan beberapa dampak negatif dari perbuatan kotor ini, serta berbagai kemudharatan dan kerusakan yang diakibatkannya.

1. Dalam perbuatan zina tekumpul semua jenis keburukan, seperti lemahnya agama, hilangnya ketakwaan, hancurnya kesopanan, lenyapnya rasa cemburu, dan terkuburnya akhlak terpuji.

2. Perbuatan zina dapat membunuh rasa malu sehingga menjadikan seseorang tebal muka atau tidak tahu malu.

3. Perbuatan zina mempengaruhi keceriaan wajah sehingga menjadikannya kusam, kelam, dan tampak layu bagaikan orang yang mengalami kesedihan mendalam. Di samping itu, zina dapat memicu kebencian yang bisa disaksikan oleh orang yang melihatnya.

4. Perbuatan zina mengakibatkan kegelapan dan hilangnya cahaya hati.

5. Perbuatan zina menjatuhkan bahkan menghilangkan harga diri pelakunya, menjatuhkan derajatnya di hadapan sang Pencipta dan seluruh makhluk-Nya, serta menghilangkan sebutan hamba yang berbakti, ’afif (pemelihara kehormatan diri), dan orang yang adil. Bahkan sebaliknya, orang banyak akan menjulukinya sebagai hamba yang jahat, fasik, pelacur, dan pengkhianat.

6. Sifat liar yang dicampakkan Allah ke dalam hati pezina merupakan teman akrab yang tampak jelas pada wajah pelakunya. Pada wajah orang yang ‘afif akan terlihat keceriaan, pada hatinya terdapat keramahan, dan semua yang duduk bersamanya akan merasa senang, sedangkan pada wajah pezina malah terlihat sebaliknya.

7. Orang akan melihat seorang pezina dengan pandangan yang meragukan, penuh dengan khianat. Tidak ada seorang pun yang akan percaya tentang kehormatan yang diraihnya dan anak yang dimilikinya.

8. Bau busuk yang keluar dari tubuh seorang pezina dapat dicium oleh setiap orang yang berhati bersih dan selamat. Bau busuk tersebut berhembus dari mulut dan badannya.

9. Perbuatan zina akan mengakibatkan hati yang sempit dan perasaan tertindas. Para pezina akan diperlakukan dengan perlakuan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Siapa saja yang menginginkan kenikmatan hidup dengan keindahannya, tetapi ia meraihnya dengan cara bermaksiat kepada Allah, maka Allah pasti akan mengadzabnya dengan kebalikan apa yang diinginkannya. Sesungguhnya, semua kenikmatan yang ada di sisi Allah tidak akan bisa diraih kecuali dengan cara mentaati perintah-Nya. Allah sama sekali tidak pernah menjadikan suatu kemaksiatan sebagai penyebab untuk memperoleh kebaikan.

10. Orang yang melakukan perbuatan zina berarti telah mengharamkan dirinya untuk menikmati bidadari Surga di tempat-tempat indah dalam surga ’Adn

11. Perbuatan zina dapat membuat orang berani memutuskan tali shilaturahim, durhaka terhadap orang tua, menghasilkan harta yang haram, membuahkan akhlak tercela, serta menelantarkan keluarga dan keturunan. Kadang-kadang zina dapat menyeret pelakunya untuk melakukan pembunuhan. Bisa jadi untuk melakukan niat jahat itu, ia bekerja sama dengan tukang sihir sehingga menyeretnya ke dalam perbuatan syirik baik ia ketahui maupun tidak. Sebab, perbuatan zina tidak akan sempurna kecuali dengan melakukan kemaksiatan lain yang sebelumnya dan yang dilakukan bersamaan dengannya sehingga akan mengakibatkan munculnya berbagai macam maksiat lainnya. Perbuatan ini dikelilingi oleh berbagai kemaksiatan sebelum dan sesudahnya. Maksiat inilah yang paling cepat menyeret seseorang kepada kesengsaraan dunia dan akhirat serta merupakan penghalang yang paling kuat untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat.

12. Perbuatan zina menghilangkan kehormatan seorang gadis dan menyelimutinya dengan kehinaan, yang tidak hanya di tanggung seorang diri, tapi juga akan mencemari kehormatan keluarganya. Rasa hina itu akan berpengaruh terhadap keluarga, suami dan kerabatnya, sehingga membuat kepala-kepala mereka tertunduk malu di tengah masyarakat.

13. Kehinaan yang dirasakan oleh orang yang dituduh berbuat zina lebih menyayat dan lebih kekal dibandingkan dengan kehinaan yang dirasakan oleh orang yang dituduh berbuat kafir. Sebab jika seorang yang bertaubat dari perbuatan kufur, justru akan dapat menghilangkan rasa hina di tengah masyarakat, tidak meninggalkan bekas pada masyarakat yang dapat menjatuhkan derajat orang seperti dirinya di hadapan orang yang dilahirkan dalam keadaan Islam.

Lain halnya dengan perbuatan zina, sebab setelah bertaubat dari perbuatan ini –walaupun pelakunya secara agama sudah bersih dan dengan taubat itu pula adzab akhirat yang akan diterimanya sudah terangkat- masih meninggalkan bekas yang sangat mendalam di dalam hati, harga dirinya di mata masyarakat yang tidak pernah melakukan perbuatan tersebut jadi berkurang sesuai dengan kadar perbuatan zina yang ia lakukan.

Lihatlah seorang wanita yang disebut sebagai pezina, bagaimana kaum pria menjauh dan tidak mau menikahinya walaupun ia telah bertaubat. Demi menghindari aib yang dahulu telah mencoreng harga dirinya, mereka pun lebih mengutamakan menikah dengan wanita kafir yang sudah masuk Islam, daripada menikah wanita yang besar dalam agama Islam, namun ia melakukan perbuatan zina.

16. Perbuatan zina merupakan kejahatan moral terhadap anak. Perbuatan zina juga menyebabkan munculnya seorang anak yang miskin kasih sayang yang bisa mengikatnya. Selain merupakan kejahatan terhadap anak yang dilahirkan, zina juga memaksa anak tersebut hidup hina dalam masyarakat dan membuatnya merasa terpojok dari setiap sudut. Perasaan seperti ini muncul sebab pada umumnya masyarakat meremehkan anak zina, nurani mereka mengingkarinya, dan mereka tidak memandangnya dari segi kemasyarakatan sebagai pelajaran. Apakah dosa anak ini ? hati siapakah yang begitu tega membuatnya seperti ini ?

17. Perbuatan zina yang dilakukan seorang pria pezina, dapat menghancurkan wanita baik-baik yang terpelihara dan menjerumuskannya pada jurang kehancuran dan kenistaan.

18. perbuatan zina dapat memicu munculnya berbagai permusuhan dan mengobarkan api balas dendam antara keluarga wanita dengan laki-laki yang menzinainya. Hal itu disebabkan oleh api cemburu terhadap harga diri keluarga. Tatkala seseorang melihat salah seorang pezina telah berbuat lancang terhadap istrinya, api cemburu yang ada dalam dadanya akan membara sehingga dapat memicu terjadinya saling bunuh dan menyebarnya peperangan. Sebab, pencorengan terhadap harga diri seorang suami dan kerabat lainnya dapat membuat malu dan menodai kehormatan mereka. Seandainya seorang suami mendengar bahwa salah satu keluarganya terbunuh, niscaya kabar itu lebih ringan baginya daripada mendengar bahwa istrinya telah berbuat zina.

Sa’ad bin ’Ubadah radliyallahu’anhu berkata, ”Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku, tentu aka akan memenggal lehernya dengan pedang tanpa kumaafkan”.

Kalimat itupun sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, lantas beliau pun bersabda:

”Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Demi Allah, aku lebih cemburu daripada Sa’ad dan Allah lebih cemburu daripada aku. Karena kecemburuan Allah tersebutlah, makadi haramkan segala bentuk kekejian yang tampak maupun yang tersembunyi” (HR. Bukhori (5223) dan Muslim (2761))

Lain halnya dengan orang yang membenci perzinaan, menjauhinya, serta tidak rela hal itu terjadi terhadap yang lainnya. Gambaran seperti ini akan memberikannya kewibawaan dalam hati anggota keluarganya dan akan membantu menjadikan rumahnya bersih dan terjaga dari hal-hal buruk.

19. perbuatan zina memberi dampak negatif terhadap kesehatan jasmani pelaku yang sulit diobati atau disembuhkan, bahkan dapat mengancam kelangsungan hidup pelakunya. Perbuatan itu akan memicu munculnya berbagai penyakit, seperti AIDS, penyakit sifilis, penyakit herpes, penyakit kelamin, dan penyakit kotor lainnya.

Beberapa pihak telah mengklaim bahwa penyebab terbesar mewabahnya penyakita AIDS adalah karena sex bebas atau dengan kata lain zina. Seperti di Subang, di klaim bahwa AIDS 73% disebabkan oleh perilaku sex bebas remaja[2], bahkan di Kupang sampai 98% penyebab mewabahnya AIDS adalah karena sex bebas[3].

20. Perbuatan zina merupakan penyebab hancurnya suatu ummat. Sudah menjadi sunnatullah terhadap hamba-Nya bahwa ketika perbuatan zina muncul ke permukaan bumi, Allah azza wa jalla marah dan kemarahan-Nya pun semakin besar sehingga pasti akan mengakibatkan terjadinya balasan berupa bencana di atas muka bumi.

Ibnu Mas’ud Radliyallahu’anhu berkata: ”Tidaklah tampak perbuatan memakan riba dan perzinaan dalam suatu negeri, melainkan Allah mengizinkan kehancurannya.”

Ingatlah, Suatu Perbuatan Akan Dibalas Sesuai Dengan Jenis Perbuatan Tersebut

Kalimat judul poin ini adalah suatu kaidah syar’iyyah dan sunnatullah yang tidak akan pernah berganti. Allah ta’ala akan membalas seseorang sesuai dengan perbuatannya.

Wahai saudaraku….apakah Anda mengira bahwa orang yang mengumbar syahwatnya tanpa ada aturan dan tatanan akan selamat dari adzab Allah? Tidak. Minimal ia akan mendapatkan adzab seperti yang terkandung dalam kaidah di atas. Coba Anda dengarkan ungkapan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah:

Jagalah kehormatan kalian, niscaya istri-istri kalian akan terjaga dari perbuatan haram

Hindarilah segala yang tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim

Zina adalah hutang, Jika Engkau mengambilnya hutang

Maka, Ketahuilah bahwa tebusannya adalah anggota keluargamu

Barangsiapa berzina, akan dizinai meskipun di dalam rumahnya

Camkanlah, jika engkau termasuk orang yang berakal

Barangsiapa yang berusaha mengoyak kehormatan orang lain, maka dimungkinkan ia akan melihat hal serupa menimpa pada anak perempuan atau saudara perempuannya. Barangsiapa yang tidak mempedulikan larangan-larang Allah, bisa saja (berakibat) istrinya mengkhianatinya. Dan wanita mana saja yang melakukan hal itu, maka dimungkinkan ia akan melihat hal serupa menimpa pada anak perempuan atau anak keturunannya –semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita semua dari segala bencana-.

Menuju Taubat Dari Perbuatan Zina

Setelah kita mengetahui besarnya kejahatan dosa zina serta pengaruhnya yang dapat menghancurkan pribadi dan masyarakat, maka perlu sekali diperhatikan kewajiban untuk bertaubat dari perbuatan ini. Wajib bagi mereka yang terperosok ke dalam lembah perzinaan, yang menjadi penyebab ataupun yang membantu terjadinya perbuatan itu, untuk segera bertaubat kepada Allah dengan taubat sebenarnya. Berikut ini beberapa poin cara bertaubat dari perbuatan zina:

1. Hendaklah mereka menyesali apa yang pernah mereka lakukan dan tidak kembali lagi pada perbuatan tersebut walaupun sangat memungkinkan.

2. Tidak harus bagi mereka yang terperosok dalam lembah perzinaan, baik laki-laki ataupun perempuan untuk menyerahkan diri dan mengakui perbuatan dosa yang dilakukannya. Bahkan, cukup baginya dengan bertaubat kepada Allah dan menutup aib dirinya dengan tabir Allah azza wa jalla.

3. Jika orang yang berzina tadi masih menyimpan gambar pasangannya, rekaman suara, atau fotonya, maka hendaklah ia melepaskan diri dari itu semua. Apabila gambar atau rekaman suara tadi sudah diberikan kepada orang lain, maka hendaklah ia tidak memintanya kembali dan segera menyelamatkan diri darinya bagaimanapun caranya.

4. Apabila seorang wanita pernah direkam atau difoto, kemudian ia khawatir masalahnya akan tersebar, maka hendaklah ia segera bertaubat kepada Allah ta’aladan tidak menjadikan hal itu sebagai penghalang antara dirinya dengan Allah ta’ala.

Bahkan, wajib baginya bertaubat kepada Allah. Janganlah ia terpengaruh oleh ancaman dan intimidasi orang lain. Allah subhanahu wa ta’ala yang akan mencukupi dan menguasai dirinya. Sungguh orang yang mengancamnya hanyalah pengecut dan penakut. Orang ini akan membongkar kejelekannya sendiri apabila menyebarkan gambar-gambar dan rekaman suara yang ada padanya.

Lalu apakah yang akan terjadi apabila ia melaksanakan ancaman itu? Manakah yang lebih mudah antara terbongkarnya kejelekan di dunia yang disertai dengan taubat nasuha ataukah terbongkarnya kejelekan di depan seluruh ummat yang menyaksikan pada hari Kiamat sehingga setelah itu ia masuk Neraka yang merupakan sejelek-jelek tempat?

5. Apabila perempuan tadi khawatir aibnya akan tersebar, maka salah satu solusi yang dapat dilakukan dalam menggapai taubat adalah meminta bantuan kepada salah seorang keluarga laki-laki yang bisa diandalkan untuk menolongnya agar terlepas dari kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Mungkin saja bantuan keluarga itu dapat berguna dan bermanfaat baginya.

Kesimpulannya, barangsiapa yang terperosok ke dalam kubangan dosa ini hendaklah segera bertaubat dengan sebenar-benar taubat, menyerahkan semuanya kepada Allah, dan memutuskan hubungan dengan semua yang dapat mengingatkannya pada perbuatan itu. Kemudian, hendaklah ia menyesali semua yang telah dilakukannya di hadapan Rabb-nya, dengan penuh tawadlu’, merendahkan diri, dan menyerahkan semuanya kepada-Nya. Semoga dengan begitu, Allah azza wa jalla berkenan menerima taubatnya, mengampuni dosa-dosa yang pernah dilakukannya, dan menggantinya dengan kebaikan-kebaikan.

Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلاَيَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلاَيَزْنُونَ وَمَن يَّفْعَلْ ذَلِكَ يَلقَ أَثَامًا {68} يُضَاعَفُ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا {69} إِلاَّ مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا {70}

”Dan orang-orang yang tidak menyembah Ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqon: 68-70)

Disusun oleh Maramis Setiawan

2 Desember 2009/ 16 Dzulhijjah 1430

Buku Referensi:

  • Cara Bertaubat menurut al-Qur’an dan as-Sunnah oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, hal 213-218, penerbit Pustaka Imam Syafi’i.
  • Perang Melawan Syahwat oleh Muhammad bin Abdullah ad-Duwaisy hal 38-39, penerbit Daar an-Naba.

 

[1] Poin-poin ini dinukil dan diringkas dari buku “Cara Bertaubat menurut al-Qur’an dan as-Sunnah” oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, hal 213-218, penerbit Pustaka Imam Syafi’i.

[2] http://news.okezone.com/read/2009/12/02/340/280900/seks-bebas-kontribusi-terbesar-hiv-aids

[3] http://www.surya.co.id/2009/11/25/98-persen-penularan-hivaids-dari-hubungan-seks.html

[4] Pembahasan ini dinukil dari buku “Perang Melawan Syahwat” oleh Muhammad bin Abdullah ad-Duwaisy hal 38-39, penerbit Daar an-Naba

[5] “Cara Bertaubat menurut al-Qur’an dan as-Sunnah” oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, hal 222-224, penerbit Pustaka Imam Syafi’i.

Sumber : http://uswah.net/tazkiyatun-nufus/175-akibat-buruk-perbuatan-zina.html

 

i

Ar-Ruthuubah (kondisi berair pada lubang vagina) 31 Januari 2011

Posted by jihadsabili in fiqih, muslimah.
add a comment

Ar-Ruthuubah (kondisi berair pada lubang vagina)

Maret 11, 2008 — sirbram

 

Banyak pertanyaan yang ditujukan ke meja redaksi melalui telpon ataupun surat, yang menanyakan tentang hukum kelembapan pada kemaluan wanita, apakah kelembapan itu sampai membasahi celana dalamnya itu dianggap najis atau suci menurut Syari’ah Islamiyah ?. Maka dari itulah, dalam pembahasan kali ini kami memilih topik yang berkenaan dengan masalah tersebut agar menjadi jelas masalahnya bagi segenap pembaca yang budiman.

 

Ar Ruthuubah itu secara bahasa maknanya ialah kelembapan, dan yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah kondisi berair pada lubang vagina dan permukaan (yakni bagian luar) vagina tersebut. Kondisi berair itu kadang-kadang karena sedang memuncaknya gairah seksual pada wanita itu, atau karena penyakit keputihan yang banyak menjangkiti vagina (kemaluan) wanita. Cairan kelembapan tersebut kadang-kadang hanya berada di dalam vagina karena sangat sedikitnya. Tetapi kadang pula mengalir keluar sampai membasahi celana dalamnya. Al Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab jilid 2 halaman 526 menerangkan : “Kelembapan pada kemaluan wanita itu dalam bentuk cairan berwarna putih yang bentuk cairannya seperti madzi atau sebagai keringat yang ada pada lubang vagina itu. Oleh karena itu telah terjadi perbedaan pendapat diantara para Ulama’ dalam masalah ini”.

Dalam perkara ini yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama’ adalah, apakah cairan kelembapan tersebut najis ataukah tidak ? dan apakah keluarnya cairan tersebut menyebabkan batalnya wudlu’ ataukah tidak ? Berikut, kami bawakan perdebatan para Ulama’ berkenaan silang pendapat di kalangan mereka serta keterangan tarjih (yakni penetapan mana yang lebih kuat dari berbagai pendapat itu). Agar kiranya dapat menjadi kejelasan ilmu bagi segenap pembaca yang budiman.

Beberapa Pendapat Para Ulama’ :

Pembahasan masalah ini masih berkaitan dengan silang pendapat berkenaan dengan najis atau tidaknya mani. Sehingga terdapat dua golongan pendapat yang masing-masingnya membangun pendapatnya di atas dalil-dalil yang diyakini masing-masingnya. Dua golongan pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Para Ulama’ yang berpandangan najisnya cairan kelembapan itu, karena meyakini najisnya mani. Karena itu mereka mengatakan bahwa mani wanita itu tercampur pada cairan tersebut sehingga dikatagorikanlah cairan itu adalah benda najis. Diantara para yang termasuk berpendapat demikian ini adalah : Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Malik bin Anas dan lain-lainnya.

2. Para Ulama’ yang berpandangan tidak najisnya mani, berpandangan bahwa cairan kelembapan itu tidak najis juga. Karena buktinya mani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang mestinya tercampur dengan cairan tersebut ketika bersetubuh dengan istrinya tidak dianggap najis oleh para istri beliau sehingga baju beliau yang terkena mani itu tidak dicuci oleh istri-istri beliau. Yang termasuk dalam kalangan Ulama’ yang berpendapat demikian adalah : Muhammad bin Idris As Syafi’ie, Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya.

Karena perkara ini adalah merupakan perkara khilafiyah, maka tentunya harus ada upaya tarjih diantara berbagai pendapat itu dengan mempertimbangkan kekuatan dalil masing-masing pendapat itu. Karena kita hanya mengikuti dalil dalam berIslam dan yang dinamakan dalil itu adalah Al Qur’an dan Al Hadits.

Dalam hal ini ada beberapa hadits yang menjadi dalil Syar’ie bagi kedua golongan Ulama’ yang berbeda pendapatnya. Beberapa hadits tersebut adalah sebagai berikut :

1. Riwayat Utsman bin Affan radhiyallahu anhu yang menerangkan bahwa seorang suami yang menyetubuhi istrinya tetapi tidak keluar mani, maka wajib bagi suami tersebut mencuci kemaluannya dan kemudian berwudlu’. Utsman menyatakan : “Aku mendengar yang demikian itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam”. Riwayat tersebut dibawakan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke : 292 dan Muslim juga dalam Shahihnya hadits ke 347/86. Dari riwayat ini dipahami oleh sebagian Ulama’, bahwa perintah mencuci kemaluan pria itu menunjukkan najisnya cairan kelembapan pada vagina walaupun dia dalam bersetubuh itu tidak sampai keluar mani.

2. Riwayat Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhu menyatakan bahwa beliau pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam : Wahai Rasulallah, bagaimanakah bila seorang pria bersetubuh dengan seorang wanita tetapi tidak sampai keluar mani ? Maka Rasulullah menjawab : Dia mencuci darinya apa yang menyentuh wanita itu kemudian berwudlu’ dan shalat”. HR. Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 293, Muslim dalam Shahihnya hadits ke 346/84.

Dari hadits ini dipahami oleh sebagian Ulama’ bahwa perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam kepada Ubay untuk mencuci kemaluannya yang telah masuk pada vagina istrinya itu menunjukkan najisnya air kelembapan yang ada padanya.

3. Riwayat Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda : “Apabila seorang pria telah menempati empat sisi tubuh wanita (yakni dalam posisi bersenggama dengannya -pent) kemudian memasukkan kemaluannya kepada kemaluan wanita itu, maka sungguh telah wajib mandi (yakni mandi junub -pent) atasnya”. HR. Muslim dalam Shahihnya hadits ke 348/87. Dalam riwayat ini Imam Muslim menyatakan: “Dalam hadits riwayat Mathrin disebutkan adanya pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam : ……Walaupun tidak keluar mani”. Maksudnya ialah, wajib mandi junub atas keduanya walaupun tidak sampai keluar mani dalam persenggamaannya.

Juga dibawakan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya hadits ke 350/89 dari riwayat A’isyah Ummul Mu’minin radhiyallahu anha, beliau memberitakan : “Seorang pria bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam tentang seorang suami yang bersenggama dengan istrinya, kemudian dia menghentikannya dalam keadaan belum keluar mani. Apakah diwajibkan atas suami istri itu untuk mandi junub ? A’isyah waktu itu duduk disamping beliau, maka beliaupun menjawab pertanyaan pria tersebut dengan mengatakan : Sesungguhnya aku telah melakukannya (yakni bersenggama) dengan istriku ini dalam keadaan tidak keluar mani, kemudian kami mandi junub setelah itu”.

Riwayat-riwayat ini menunjukkan hukum wajibnya mandi junub atas pria dan wanita bila telah bersenggama dengan masuknya kepala kemaluan pria itu pada lubang kemaluan wanita, walaupun tidak keluar mani. Hukum tersebut tentunya berbeda dengan hukum yang diterangkan dalam riwayat-riwayat pertama dan kedua, yang tidak mewajibkan mandi junub bagi mereka yang bersenggama tetapi belum sampai keluar maninya.

4. Imam Muslim An Nisaburi rahimahullah membawakan riwayat, dari pernyataan Abul Ala ‘ bin As Syikhkhir, yang menjelaskan : “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam menghapus hukum sebagian hadits beliau dengan hadits yang lainnya sebagaimana Al Qur’an yang menghapuskan sebagian hukum ayatnya dengan ayat yang lainnya”. Shahih Muslim hadits ke 344/82.

Al Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan, mengapa Imam Muslim membawakan riwayat ini di tengah berbagai riwayat yang bertentangan satu dengan yang lainnya itu. Beliau menjelaskan : “Dan yang dimaukan oleh Imam Muslim dengan membawakan riwayat ini di sini, adalah untuk menegaskan keyakinannya bahwa hadits yang mengharuskan mandi wajib hanya bagi yang keluar mani dalam persenggamaannya itu adalah hadis yang telah terhapus hukumnya”. Syarh Shahih Muslim oleh Al Imam An Nawawi jilid 1 halaman 31.

5. Al Imam At Tirmidzi rahimahullah telah meriwayatkan dalam Sunannya jilid 1 halaman 183 – 184 riwayat ke 110 & 111 dari Az Zuhri dari Sahel bin Sa’ad yang mendengar Ubay bin Ka’ab mengatakan : “Hanyalah ketentuan harus mandi junub bila keluar mani dalam persetubuhan, adalah sebagai ketentuan yang merupakan keringanan di awal masa diajarkannya pertama kali agama Islam. Kemudian setelah itu keringanan ini dihapus”. Yakni semula kewajiban mandi junub hanya dikenakan atas pria dan wanita yang keluar mani dalam persetubuhannya, dan bila tidak keluar mani dalam persetubuhan itu, maka tidak wajib mandi junub. Melainkan hanya berwudlu dan mencuci batang kemaluannya yang telah masuk ke dalam lubang kemaluan wanita itu. Tetapi setelah itu, diwajibkan mandi junub atas pria dan wanita yang melakukan persetubuhan walaupun tidak keluar mani dalam persetubuhan itu. Demikian diterangkan oleh Al Imam At Tirmidzi setelah membawakan riwayat pernyataan Ubay bin Ka’ab tersebut, dan beliau mengatakan pula bahwa keterangan Ubay tersebut tentang penghapusan hukum keringanan itu tidak hanya diberitakan oleh Ubay, akan tetapi juga dibawakan pula oleh Shahabat Nabi yang lainnya. Yaitu Rafi’ bin Khudaij dan lain-lainnya. Al Imam Ahmad Syakir rahimahullah menerangkan dalam memberikan catatan kaki terhadap riwayat At tirmidzi tersebut : “Adapun riwayat yang menyatakan telah dihapusnya hukum keringanan tersebut, adalah riwayat yang telah pasti keshahihannya dengan beberapa hadits shahih yang telah disebutkan”.

Dengan demikian, hadits-hadits yang pertama dan ke dua adalah hadits-hadits yang telah mansukh (yakni terhapus hukumnya) dengan keterangan hadits ke tiga.

6. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari A’isyah radhiyallahu anha, bahwa beliau mengerik mani kering yang menempel pada baju Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam dengan kuku beliau kemudian Rasulullah menunaikan shalat dengan baju tersebut. Demikian diriwayatkan dalam Shahih Muslim juz 3 hal. 530 hadits ke 290/109.

Dalam menerangkan hadits ini Al Imam An Nawawi rahimahullah menegaskan : “Sekelompok Ulama’ telah berdalil dengan hadits ini, bahwa cairan kelembapan pada lubang vagina wanita itu adalah suci. Dan dalam perkara ini telah terjadi perbedaan pendapat yang telah dikenal di kalangan para Ulama’, tetapi yang nyata adalah sucinya cairan kelembapan itu. Karena Nabi sallallahu alaihi waalihi wasallam tidak mungkin bermimpi yang mengakibatkan keluar mani, sebab mimpi yang demikian itu adalah permainan syaithan terhadap orang yang tidur. Oleh karena itu tidak mungkin mani kering yang menempel pada baju beliau itu kecuali adalah mani yang terpancar karena persetubuhan beliau dengan istrinya. Sehingga bisa dipastikan di sini, bahwa mani yang mengena baju beliau itu adalah mani yang telah melalui lubang vagina istri beliau yang tentunya tercampur dengan cairan kelembapannya kemudian keluar dari vagina itu dan mengenai baju beliau. Maka kalau seandainya cairan kelembapan pada vagina itu adalah najis, tentu mani yang mengena baju beliau itu adalah najis. Tetapi kenyataannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam membiarkan mani tersebut menempel pada bajunya dan tidak mencucinya, bahkan beliau mencukupkannya dengan mengeriknya, maka ini menunjukkan sucinya mani dan cairan kelembapan itu”. Syarah Shahih Muslim jilid 3 halaman 531.

Al Imam Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi rahimahullah menyatakan dalam Al Hawi Al Kabir jilid 1 halaman 259 : “Dan sungguh telah diriwayatkan keterangan dari Al Imam Asy Syafi’ie di sebagian kitab-kitab beliau, bahwa beliau berpandangan tentang sucinya cairan kelembapan vagina wanita itu dan tidak wajib untuk dicuci seperti hukumnya mani (yang terkena baju)”.

Dengan demikian, setelah kita mendapat kepastian, dalil-dalil bagi Ulama’ yang berpandangan tentang najisnya mani dan cairan kelembapan vagina wanita itu adalah dalil-dalil yang telah mansukh (yakni terhapus hukumnya). Sedangkan dalil-dalil bagi Ulama’ yang berpandangan sucinya mani dan cairan kelembapan tersebut, tidak ada satu keteranganpun yang menggugurkannya, maka dengan penuh keyakinan, kita cenderung kepada pendapat Ulama’ yang menyatakan sucinya mani dan cairan kelembapan tersebut.

Dengan demikian pula, para wanita tidak wajib mencuci celana dalamnya yang terkena cairan itu dan boleh menggunakannya untuk shalat.

P e n u t u p :

Sebagaimana yang telah kita terangkan sebelumnya, bahwa segala sesuatu itu hukum asalnya adalah suci, kecuali bila ada keterangan dari Al Qur’an dan Al Hadits yang menegaskan najisnya, barulah sesuatu itu dianggap najis. Demikian juga tentunya tentang permasalahan Ar Ruthubah ini, dalil-dalil yang dijadikan landasan oleh para Ulama’ yang berpandangan dengan kenajisannya, adalah hadits-hadits yang telah mansukh walaupun dari segi sanad ia adalah hadits-hadits yang sangat meyakinkan keshahihannya. Oleh karena itu, seandainya tidak ada keterangan dari perbuatan para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, maka Ar Ruthubah itu adalah suci. terlebih lagi adanya keterangan dari A’isyah Ummul Mu’minin yang mengisyaratkan bahwa Ar Ruthubah itu adalah perkara suci dan bukan najis. Wallahu a’lamu bis shawab.

Disalin dari: http://alghuroba.org/ruthubah.php

Ditulis dalam Muslimah. Kaitkata: (kondisi berair pada lubang vagina), Ar-Ruthuubah

UNTUK APA KITA DICIPTAKAN ? 31 Januari 2011

Posted by jihadsabili in nasehat.
add a comment

UNTUK APA KITA DICIPTAKAN ?

Kehidupan di dunia pada dasarnya hanyalah senda gurau atau main-main saja. Orang akan semakin merugi bila tidak tahu untuk apa ia diciptakan Allah dan menjalani kehidupan di dunia ini.

Kalau kita melihat besarnya kekuasaan Allah, niscaya kita akan segera mengucapkan “Allahu Akbar”, “Subhanallah”. Allah menciptakan langit tanpa tiang serta semua bintang yang menghiasinya dan Allah turunkan darinya air hujan dan tumbuh dengannya segala jenis tumbuh-tumbuhan. Bumi terhampar sangat luas, segala jenis makhluk bertempat tinggal di atasnya, berbagai kenikmatan dikandungnya dan setiap orang dengan mudah bepergian ke mana yang dia inginkan.

Binatang ada dengan berbagai jenis, bentuk, dan warnanya. Tumbuh-tumbuhan dengan segala jenisnya dan buah-buahan dengan segala rasa dan warnanya. Laut yang sangat luas dan segala rizki yang ada di dalamnya semuanya mengingatkan kita kepada kebesaran Allah dan ke-Mahaagungan-Nya.

Kita meyakini bahwa Allah menciptakan semuanya itu memiliki tujuan dan tidak sia-sia. Maka dari itu mari kita berlaku jujur pada diri kita dan di hadapan Allah yaitu tentu bahwa kita juga diciptakan oleh Allah tidak sia-sia, dalam arti kita diciptakan memiliki tujuan tertentu yang mungkin berbeda dengan yang lain. Allah berfirman:

“Maka apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al Mu’minun: 115)

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja ( tanpa pertanggungjawaban)?” (Al Qiyamah: 36)

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah”.(Shad: 27)

”Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (Ad Dukhan: 38)

Dari ayat-ayat di atas sungguh sangat jelas bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini dan yang ada di langit serta apa yang ada di antara keduanya tidak ada yang sia-sia. Lalu untuk siapakah semuanya itu?

Mari kita melihat keterangan Allah di dalam Al Qur’an:

“Dialah yang telah menjadikan bumi terhampar buat kalian dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untuk kalian, karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahuinya.” (Al Baqarah: 22)

”Dia Allah yang telah menjadikan segala apa yang di bumi untuk kalian.” (Al Baqarah: 29)

“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kalian tempat menetap dan langit sebagai atap, lalu membentuk kalian, membaguskan rupa kalian serta memberi kalian rizki dari sebagian yang baik-baik yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.” (Al Mu’min: 64)

Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (1/60) mengatakan: “Allah mengeluarkan bagi mereka (dengan air hujan tersebut) segala macam tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang bisa kita saksikan sebagai rizki buat mereka dan binatang-binatang ternak mereka sebagaimana yang telah disebutkan di banyak tempat di dalam Al Qur’an.”

As-Sa’di mengatakan di dalam tafsir beliau hal. 30: ”Allah menciptakan segala apa yang ada di atas bumi buat kalian sebagai wujud kebaikan Allah bagi kalian dan rahmat-Nya agar kalian juga bisa mengambil manfaat darinya, bersenang-senang dan bisa menggali apa yang ada padanya. (Kemudian beliau mengatakan) dan Allah menciptakan semuanya agar manfaatnya kembali kepada kita.”

Sungguh sangat jelas bahwa semua apa yang ada di langit dan di bumi dipersiapkan untuk manusia seluruhnya. Maha Dermawan Allah terhadap hamba-Nya dan Maha Luas rahmat-Nya.

Dari keterangan di atas berarti manusia diciptakan oleh Allah dengan dipersiapkan baginya segala kenikmatan, tentu memiliki tujuan yang agung dan mulia. Lalu untuk apakah tujuan mereka diciptakan?

Tujuan Diciptakan Manusia

Manusia dengan segala nikmat yang diberikan Allah memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan makhluk yang lain. Tentu hal ini menunjukkan bahwa mereka diciptakan untuk satu tujuan yang mulia, agung, dan besar. Tujuan inilah yang telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an:

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku.”(Adz Dzariat:56)

Abdurrahman As Sa’di dalam tafsir beliau mengatakan: “Inilah tujuan Allah menciptakan jin dan manusia dan Allah mengutus seluruh para rasul untuk menyeru menuju tujuan ini yaitu ibadah yang mencakup di dalamnya pengetahuan tentang Allah dan mencintai-Nya, bertaubat kepada-Nya, menghadap dengan segala yang dimilikinya kepada-Nya dan berpaling dari selain-Nya.”

Semua nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia tidak lain hanya untuk membantu mereka dalam mewujudkan tugas dan tujuan yang mulia ini.

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam kitab Al Qaulul Mufid (1/27) mengatakan: “Dengan hikmah inilah manusia diberikan akal dan diutus kepada mereka para rasul dan diturunkan kepada mereka kitab-kitab, dan jika tujuan diciptakannya manusia adalah seperti tujuan diciptakannya binatang, niscaya akan hilang hikmah diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab karena yang demikian itu akan berakhir bagaikan pohon yang tumbuh lalu berkembang dan setelah itu mati.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawa (1/4) mengatakan: “Maka sesungguhnya Allah menciptakan manusia untuk menyembah-Nya sebagaimana firman Allah ‘Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.’ Ibadah kepada Allah hanya dilakukan dengan cara mentaati Allah dan Rasul-Nya dan tidak dikatakan ibadah kecuali apa yang menurut syariat Allah adalah sesuatu yang wajib atau sunnah.”

Makna Ibadah

Ibadah secara bahasa artinya menghinakan diri. Sedangkan menurut syariat, Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Nama dari segala yang dicintai oleh Allah dan diridhai-Nya (yang terdiri) dari segala bentuk perbuatan dan ucapan baik yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (Al ‘Ubudiyyah, 38)

Macam Ibadah

Dari definisi Ibnu Taimiyah di atas kita mendapatkan faidah bahwa ibadah itu ada dua bentuk yaitu ibadah yang nampak dan tidak nampak. Atau dengan istilah lain ibadah dzahiriyyah dan ibadah bathiniyyah; atau dengan istilah lain lagi ibadah badaniyyah dan ibadah qalbiyyah.

Ibadah badaniyyah atau dzahiriyyah adalah segala praktek ibadah yang dapat dilihat melalui gerakan anggota badan yang diridhai Allah dan yang dicintai-Nya seperti shalat, zakat, puasa, berhaji, berdzikir, berinfak, menyembelih, bernadzar, menolong orang yang membutuhkan dan sebagainya. Adapun ibadah bathiniyyah atau ibadah qalbiyyah adalah ibadah yang terkait dengan hati dan tidak nampak seperti takut, tawakkal, berharap, khusyu’, cinta, dan sebagainya.

Dari kedua jenis ibadah ini, yang paling banyak kaum muslimin terjebak padanya adalah yang berkaitan dengan ibadah bathiniyyah atau ibadah hati dikarenakan sedikit dari kaum muslimin yang mengetahuinya.

‘Ubudiyyah dan Tingkatannya

Telah berbicara para ulama tentang tingkatan ‘ubudiyah ini berdasarkan apa yang telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an.

Pertama, ‘ubudiyyah yang bersifat umum.

Ubudiyyah ini bisa dilakukan oleh setiap makhluk Allah yang muslim atau yang kafir. Inilah yang diistilahkan dengan ketundukan terhadap takdir dan sunnatullah. Allah berfirman:

“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (Maryam: 93).

Tentu di dalam ayat ini masuk juga orang-orang kafir.

Kedua, ‘ubudiyyah ketaatan yang bersifat umum.

Ini mencakup ketundukan setiap orang terhadap syariat Allah, sebagaimana firman Allah:

“Dan hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi ini dengan rendah hati (tawadhu’).” (Al Furqan: 63)

Ketiga, ‘ubudiyyah yang khusus.

Ubudiyyah yang khusus ini adalah tingkatan para Nabi dan Rasul Allah. Sebagaimana firman Allah tentang Nabi Nuh:

“Sesungguhnya dia adalah hamba-Ku yang bersyukur.” (Al Isra’: 3).

Kemudian Allah berfirman tentang Rasulullah:

“Dan jika kalian ragu-ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami” (Al Baqarah: 23).

Dan Allah berfirman tentang seluruh para rasul:

“Dan ingatlah akan hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang memiliki perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45).

Ini merupakan ‘ubudiyyahnya para rasul yang tidak ada seorangpun akan bisa mencapainya. (Al Qaulul Mufid, 1/36)

Syarat Diterimanya Ibadah

Tentu sebagai orang yang dikenai beban syariat tidak menginginkan jikalau ibadah, pengabdian, dan pengorbanan kita tidak bernilai di hadapan Allah. Telah sepakat para ulama Ahlus Sunnah bahwa sebuah ibadah akan diterima oleh Allah dengan dua syarat, yaitu “mengikhlaskan niat semata-mata untuk Allah” dan “mengikuti sunnah Rasulullah.”

Kedua syarat ini merupakan makna dari dua kalimat syahadat “Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah.” Kesepakatan Ahlus Sunnah dengan kedua syarat ini dilandasi Al Qur’an dan hadits, di antaranya adalah firman Allah:

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5).

Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya amal itu sah dengan niat dan seseorang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Rasulullah bersabda:

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan bukan dari perintahku maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim)

Wallahu a’lam.

Mutiara Nasehat bagi Thaalibil Ilmi tentang “Wibawa, khusyu dan tawadhu.” 31 Januari 2011

Posted by jihadsabili in adaB, nasehat.
add a comment

Mutiara Nasehat bagi Thaalibil Ilmi tentang “Wibawa, khusyu dan tawadhu.”

“Hiasilah diri dengan keindahan ilmu, berupa bagusnya budi pekerti, akhlak yang baik dengan selalu bersikap tenang, berwibawa, khusyu’, tawadhu’, dan senantiasa bersikap istiqamah secara lahir maupun batin, serta tidak melakukan segala sesuatu yang merusaknya.” (Syarh Hilyah Thaalibil ‘Ilmi, Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah)

Hendaklah seorang pelajar menghindari sesuatu yang sia-sia, baik perbuatan maupun ucapan yang tidak ada manfaatnya. Seorang pelajar juga hendaknya menghindari SIKAP YANG RENDAH dalam majelis ilmu, seperti TERTAWA TERBAHAK-BAHAK dan SUKA SENDA GURAU, terutama kalau dia berada di tengah-tengah KHALAYAK UMUM.[1]

Adapun kalau hanya berada di tengah-tengah teman-temannya saja[2], maka masalahnya lebih ringan. Namun, jika berada di khalayak umum, hindarilah berbuat sesuatu yang bisa menghinakan dirimu sendiri. Karena itu bisa menghilangkan kewibawaanmu di hadapan orang lain; mereka (bisa) tidak lagi segan kepadamu dan juga (bisa) tidak lagi menghormati ilmu yang engkau ajarkan.

[1] Misalnya melalui komen yang dapat dibaca oleh orang banyak kalau di FB ini.

[2] Misalnya melalui inbox kalau di FB ini.

Ada sebuah pepatah:

“Barangsiapa yang banyak melakukan SESUATU, maka dia akan DIKENAL DENGANNYA.”

[Riwayat ath-Thabrani dalam al-Awsath (2259), al-Qudha’iy dalam Musnad asy-Syihaab (374), al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimaan (4994, 5019), al-Uqai…ly dalam adh-Dhu’afaa’ (III/316), dan Ibnul Qaisarani dalam Tadzkiratul Huffaazh (IV/1416) dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu secara mauquf]

Jauhilah segala PERUSAK ILMU INI baik dalam majelis MAUPUN DALAM SETIAP PEMBICARAANMU. Namun, sebagian orang YANG DUNGU menyangka bahwa bersikap longgar dalam hal seperti ini adalah sebuah sikap toleransi.

Imam al-Ahnaf bin Qais berkata:

“Jauhkanlah majelis kita dari menyebut-nyebut wanita dan makanan. Saya benci seorang laki-laki yang suka membicarakan kemaluan dan perutnya.”

[Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (IV/94) dan Faidhul Qadiir (I/538)]

Karena ini bisa mengalihkan perhatian dari menuntut ilmu. Misalnya seseorang berkata: “Tadi malam saya makan sampai kekenyangan.” Atau ucapan sejenis YANG TIDAK ADA GUNANYA sama sekali. Juga berbicara seputar urusan wanita, terlebih lagi kalau ada yang membicarakan hubungan suami istri yang dilakukannya. Maka orang seperti ini adalah SEJELEK-JELEK MANUSIA pada hari Kiamat dalam pandangan Allah Ta’ala.

(Dikutip dari kitab Syarh Hilyah Thaalibil ‘Ilmi, Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, Edisi Indonesia: Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu, penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta)

Dicopy dari status Abu Muhammad Herman.

Cinta Sejati…! 31 Januari 2011

Posted by jihadsabili in cinta.
add a comment

Cinta Sejati…!

Jalan Sunnah Hiasi Rumahtangga
——————————————

Ketahuilah, bahawa rumahtangga ini adalah sebahagian dari fasa-fasa perjuangan yang harus kita jayakan bagi mencapai matlamat suci kita. Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Rumahtangga ini adalah obor bagi masyarakat Islam yang cemerlang.

//

Cinta yang tumbuh karena iman, amal sholeh, dan akhlaq yang mulia, akan senantiasa bersemi. Tidak akan lekang karena sinar matahari, dan tidak pula luntur karena hujan, dan tidak akan putus walaupun ajal telah menjemput.

الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

“Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.”

[Az Zukhruf: 67]

Wahai saudaraku ikhwan & akhwat!

Cintailah kekasihmu karena iman, amal sholeh serta akhlaqnya, agar cintamu abadi. Tidakkah anda mendambakan cinta yang senantiasa menghiasi dirimu walaupun anda telah masuk ke dalam alam kubur dan kelak dibangkitkan di hari kiamat! Tidakkah anda mengharapkan agar kekasihmu senantiasa setia dan mencintaimu walaupun engkau telah tua renta dan bahkan telah menghuni liang lahat!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. متفق عليه

“Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.”

[Muttafaqun ‘alaih]

Wahai saudaraku ikhwan & akhwat!

Hanya cinta yang bersemi karena iman dan akhlaq yang mulialah yang suci dan sejati. Cinta ini akan abadi, tak lekang diterpa angin atau sinar matahari, dan tidak pula luntur karena guyuran air hujan.

Yahya bin Mu’az berkata:
“Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu.” Yang demikian itu karena cinta anda tumbuh bersemi karena adanya iman, amal sholeh dan akhlaq mulia, sehingga bila iman orang yang anda cintai tidak bertambah, maka cinta andapun tidak akan bertambah. Dan sebaliknya, bila iman orang yang anda cintai berkurang, maka cinta andapun turut berkurang. Anda cinta kepadanya bukan karena materi, pangkat kedudukan atau wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman dan berakhlaq mulia. Inilah cinta suci yang abadi saudaraku.

Membina keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah

Simaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyarankan kepada ikwan sekalian:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. متفق عليه

“Biasanya, seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.”

[Muttafaqun ‘alaih]

Kepada bapa/wali bg wanita/puteri yg telah sedia mendirikan mahligai bahagia, hadits ini menjadi tuntunan bagi kita semua:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ. رواه الترمذي وغيره.

“Bila ada seorang yang agama dan akhlaqnya telah engkau sukai, datang kepadamu melamar, maka terimalah lamarannya. Bila tidak, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi.”

[Riwayat At Tirmizy dan lainnya]

Begitulah sewajarnya yg harus kita laksanakan dalam menambatkan tali cinta yg sejati, bukan melalui maksiat kepada Allah semisal pacaran atau selainnya..wallahu a’lam..

Semoga petikan ringkas ini dapat menjadi pedoman buat diri dan jg buat saudaraku ikhwan dan akhwat di luar sana.. Semoga Allah senantiasa menjaga dan membimbing setiap gerak langkah yg kita kerjakan untuk meraih keridhaan-Nya… Insya’ Allah..

Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Dipublikasi ulang dari www.pengusahamuslim.com
http://muslim.or.id/ [Cinta Sejati]

KARAKTERISTIK BIDADARI-BIDADARI JANNAH 31 Januari 2011

Posted by jihadsabili in muslimah.
add a comment
KARAKTERISTIK BIDADARI-BIDADARI JANNAH
Duhai peminang bidadari cantik 

Berhasrat mendampinginya di surga Al-Hayawaan

Andaikan engkau tahu siapa yang engkau pinang

Dan siapa yang engkau inginkan

Niscaya engkau akan berusaha mengumpulkan keimanan

Atau engkau sadari dimanakah tempat tinggalnya

Niscaya engkau jadikan usaha meraihnya selalu dihadapan mata

Bersegera dan teruslah berusaha dengan sungguh-sungguh

Sesungguhnya kesempatanmu hanyalah sebentar saja

Bergembira dan ceritakanlah pertemuan itu kepada jiwamu

Dan usahakanlah maharnya selama masih memungkinkan

Jadikanlah puasamu sebagai waktu pertemuan dengannya

Dan hari pertemuan adalah hari berbuka pada bulan Ramadhan

Jadikanlah paras kecantikannya sebagai pendorong semangat

Berjalanlah menuju kekasih dan janganlah berlambat-lambat

Dengarkanlah karakteristik dan pertemuan dengannya

Dan jadikanlah bicaramu bicara yang baik-baik

Hai orang yang tawaf di sekitar Ka’bah yang indah

Yang dikelilingi dengan batu itu dan rukun-rukun

Senantiasa bersa’i di bukit Shafa

Lembah muhassir adalah tempat tujuannya setiap saat

Bergegas berjalan untuk sampai ke Mina

Masjid Al-Khaif menghalanginya untuk mendekat

Oleh karena itu engkau lihat ia senantiasa memakai ihram

Tempat tahallulnya tidaklah dekat darinya

Ia menghendaki tamattu’ dengan ketulusan cinta

Mengharapkan pemberi syafaat yang selalu menyertai

Ia mendatangi jamrah-jamrah dengan melemparkan hatinya

Itulah manasik hajinya di setiap zaman

Manusia telah menunaikan manasik mereka

Telah menaiki kendaraan mereka untuk pulang ke kampung halaman

Engkau mengarahkan keinginan dan tekad mereka

Menuju tempat-tempat persinggahan wahai pemilik kebaikan

Engkau memancangkan panji-panji pertemuan di tengah jalan

Bersungguh-sungguhlah hai pemalas yang merugi

Dari jauh mereka melihat kemah-kemah yang terpancang

Cahaya dan petunjuk yang bersinar terang

Mereka bergegas mendatangi kemah-kemah itu

Dan berkumpul bersama bidadari-bidadari sepanjang malam

Bidadari yang sopan menundukkan pandangannya

Yang tidak mengharapkan kekasih lain kecuali pasangannya

Mereka menundukkan pandangan karena kecantikan mereka

Pandangan yang memancarkan rasa kedamaian

Anugerah kecantikan yang membuat mata terpana

Yang membuat siapa saja terheran-heran

Dan bergumam setelah menyaksikan kecantikannya

Maha suci Allah yang telah memberikan kecantikan dan kebaikan

Pandangan mata mereguk minuman dari gelas kecantikannya

Engkau melihatnya seolah peminum yang sedang mabuk kasmaran

Sungguh sempurna fisik dan kecantikannya

Seperti bulan purnama pada malam keenam setelah delapan malam (malam keempat belas)

[Al-Kaafiyah Asy-Syaafiyah]

Disalin dari buku “Pesan-pesan Pemikat Cinta, Menata Hati Menyemai Cinta bersama Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah”

PERJALANAN : bagaimana kiranya aku yang dijemput kematian bukan saudaraku itu.. 31 Januari 2011

Posted by jihadsabili in kematian, nasehat.
add a comment

PERJALANAN : bagaimana kiranya aku yang dijemput kematian bukan saudaraku itu..


Aku bertanya kepada negeriku apa yang dapat ia kabarkan,
Tentang hal para kekasih akan apa yang mereka kerjakan.
Negeriku berkata: Mereka telah menyingkir sejak lama, pergi berjalan Aku bertanya: kemana aku akan mencari mereka pergi?
Tempat singgah mana yang mereka singgahi
Sang negeri menjawab: Carilah dalam kubur mereka sendiri,
Mereka menghadap Allah dengan amalan mereka pribadi

Saudariku tampak pucat dan kurus. Namun sebagaimana kebiasaannya, ia tetap membaca Al-Qur’an…

Jika engkau mencarinya, pasti akan mendapatinya di tempat shalatnya, sedang rukuk, sujud dan mengangkat kedua tangannya ke atas langit… Demikianlah setiap pagi dan petang, juga di tengah malam buta, tak pernah berhenti dan tak pernah merasa bosan.

Sementara aku amat gemar membaca majalah-majalah seni dan buku-buku yang berisi cerita-cerita. Saya juga biasa menonton video, sampai aku dikenal sebagai orang yang keranjingan nonton. Orang yang banyak melakukan satu hal, pasti akan ditandai dengan perbuatan itu. Aku tidak menjalankan kewajibanku dengan sempurna. Aku juga bukan orang yang melakukan shalat dengan rutin.

Setelah aku mematikan video player, setelah selama tiga jam aku menonton berbagai macam film berturut-turut, terdengarlah adzan dari masjid sebelah..

Aku pun kembali ke pembaringanku. Wanita itu memanggilku dari arah mushalanya. “Apa yang engkau inginkan wahai Nurah?” tanyaku. Dengan suara tajam saudariku itu berkata kepadaku: “Janganlah engkau tidur sebelum engkau menunaikan shalat Shubuh!” “Ah. Masih tersisa satu jam lagi, yang engkau dengar tadi itu baru adzan pertama…”

Dengan suaranya yang penuh kasih -demikianlah sikapnya selalu sebelum terserang penyakit parah dan jatuh terbaring di atas kasurnya- saudariku itu kembali memanggil: “Mari sini Hanna, duduklah di sisiku.” Sungguh aku sama sekali tidak dapat menolak permintaannya, yang menunjukkan karakter asli dan kejujurannya… Tidak diragukan lagi, dengan pasrah, kupenuhi panggilannya.

“Apa yang engkau inginkan?” tanyaku. “Duduklah.” ujarnya. Aku pun duduk. “Apa gerangan yang akan engkau utarakan?” Dengan suara renyah dan merdu, ia berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Masing-masing jiwa akan mati. Sesungguhnya kalian hanya akan dipenuhi ganjaran kalian di hari Kiamat nanti…” (Ali Imran: 185)

Dia diam sesaat. Kemudian ia bertanya kepadaku: “Apakah engkau percaya pada kematian?” “Tentu saja aku percaya.” jawabku. “Apakah engkau percaya bahwa engkau akan dihisab terhadap perbuatan dosa besar maupun kecil…?” “Benar. Tetapi Allah itu Maha Pengampun, dan umur itu juga panjang..” jawabku.

“Wahai saudariku! Tidakkah engkau takut akan mati mendadak? Lihatlah si Hindun yang lebih kecil darimu. Ia tewas dalam kecelakaan mobil. Juga si Fulanah dan si Fulanah.” ujarnya. “Kematian tidak mengenal umur, dan tidak dapat diukur dengan umur..” ujarnya lagi.

Dengan suara ngeri aku menjawab ucapannya di tengah ruang mushalanya yang gelap: “Sesungguhnya aku takut dengan kegelapan, sekarang engkau malah menakut-nakutiku dengan kematian, bagaimana sekarang aku bisa tidur? Aku kira sebelumnya, engkau bersedia untuk bepergian bersamaku dalam liburan ini.”

Tiba-tiba suaranya terisak dan hatiku pun trenyuh: “Kemungkinan, pada tahun ini aku akan bepergian jauh, ke negeri lain… Kemungkinan wahai Hanna… Umur itu di tangan Allah… Dan meledaklah tangisnya.

Aku merenung ketika ia terserang penyakit ganas. Para dokter secara berbisik memberitahukan kepada ayahku bahwa penyakitnya itu tidak akan membuatnya bertahan hidup lama. Tetapi siapa gerangan yang memberitahukan hal itu kepadanya? Atau ia memang sudah menanti-nantikan kejadian ini?

“Apa yang sedang engkau fikirkan?” Terdengar suaranya, kali ini begitu keras. “Apakah engkau meyakini bahwa aku menyatakan hal itu karena aku sedang sakit? Tidak sama sekali. Bahkan mungkin umurku bisa lebih panjang dari orang-orang yang sehat. Dan engkau sampai kapan masih bisa hidup? Mungkin dua puluh tahun lagi. Mungkin juga empat puluh tahun lagi. Kemudian apa yang terjadi?” Tangannya tampak bersinar di tengah kegelapan, dan dihentakkan dengan keras.

Tak ada perbedaan antara kita semua. Masing-masing kita pasti akan pergi meninggalkan dunia ini; menuju Surga atau Neraka… Tidakkah engkau menyimak firman Allah:

“Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung?” (Ali Imran: 185)

Semoga pagi ini engkau baik-baik saja…

Dengan bergegas aku berjalan meninggalkannya, sementara suaranya mengetuk telingaku: “Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu. Jangan lupa shalat.”

Jam delapan pagi, aku mendengar ketukan pintu. Ini bukan waktu kebiasaanku untuk bangun. Terdengar suara tangis dan hiruk pikuk… Apa yang terjadi?

Kondisi Nurah semakin parah. Ayahku segera membawanya ke rumah sakit. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.

Tidak ada tamasya pada tahun ini. Sudah ditakdirkan aku untuk tinggal di rumah saja tahun ini. Pada jam satu waktu Zhuhur, ayahku menelepon dari rumah sakit: “Kalian bisa menjenguknya sekarang, ayo lekas!”

Ibuku memberitahukan, bahwa ucapan ayahku terdengar gelisah dan suaranya juga terdengar berubah… Jubah panjangku kini sudah berada di tanganku..

Mana sopirnya? Kami pun naik mobil dengan tergesa-gesa. Mana jalan yang biasa kulalui bersama sopirku untuk tamasya yang biasanya terasa pendek? Kenapa sekarang terasa jauh sekali…, jauuuh sekali?! Mana lagi keramaian yang menyenangkan diriku agar aku bisa menengok ke kiri dan ke kanan? Kenapa sekarang terasa menyebalkan dan menyusahkan?

Ibuku berada di sampingku sedang mendoakan saudariku tersebut. Ia adalah wanita yang shalihah dan taat. Aku tidak pernah melihatnya menyia-nyiakan waktu sedikitpun…

Kamu masuk melewati pintu keluar rumah sakit… Terdengar suara orang sakit mengaduh. Ada lagi orang yang tertimpa musibah kecelakaan mobil. Ada pula orang yang kedua matanya bolong… Tak diketahui lagi, apakah ia masih penduduk dunia, atau penduduk akhirat? Sungguh pemandangan yang mengherankan yang belum pernah kusaksikan sebelumnya…

Kami menaiki tangga dengan cepat… Ternyata dia berada di dalam kamar gawat darurat. Saya akan mengantar kalian kepadanya… Perawat meneruskan perkataannya bahwa ia seorang putri yang baik sekali, dan dia menenangkan ibuku: “Sesungguhnya dia dalam keadaan baik setelah tadi mengalami pingsan…”

“Dilarang masuk lebih dari satu orang.” Demikian tertulis. “Ini kamar gawat darurat.”

Melalui sela-sela beberapa orang dokter dan melalui celah-celah jendela kecil yang terdapat di kamar tersebut, aku melihat dengan kedua mata kepalaku sendiri saudariku Nurah sedang memandang ke arahku, sementara ibu berdiri di sampingnya… Setelah dua menit kemudian, ibuku keluar tanpa bisa menahan air matanya…

Mereka mengizinkanku masuk dan memberi salam kepadanya, dengan syarat, tidak boleh banyak berbicara kepadanya. “Dua menit, sudah cukup untuk saudari.”

“Bagaimana kabarmu wahai Nurah?” tanyaku. Kemarin sore engkau baik-baik saja, apa yang terjadi pada dirimu?! Dia menjawabku setelah terlebih dahulu menekan tanganku. “Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik saja…” Ujarnya lagi. “Alhamdulillah… tetapi tanganmu dingin?” Tanyaku..

Aku duduk di sisi pembaringannya sambil mengelus-elus betisnya. Namun ia menyingkirkan betisnya dariku… “Maaf, kalau aku mengganggumu… Oh tidak, aku hanya sedang memikirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmulah pada hari itu kamu dihalau..” (Al-Qiyaamah: 29-30)

Hendaknya engkau mendoakanku wahai saudariku Hanna, bisa jadi sebentar lagi aku akan menghadapi permulaan alam Akhirat… Perjalananku akan panjang, sementara bekalku amat sedikit…

Air mataku kontan berderai dari kedua belah mataku begitu aku mendengar ucapannya. Aku menangis, tidak lagi sadar di mana aku berada. Kedua mataku terus mengalirkan air mata karena tangisan, sehingga ayahku justru lebih mengkhawatirkan kondisiku daripada Nurah sendiri. Mereka sama sekali tidak terbiasa mendengar tangisan ini dan mengurung diri di kamarku.

Seiring tenggelamnya matahari, di hari yang penuh kedukaan… Munculah keheningan panjang di rumah kami… Tiba-tiba masuklah saudari sepupu dari pihak ibuku dan saudari sepupu dari pihak ayahku.

Kejadian-kejadian yang sangat cepat… Orang-orang banyak berdatangan. Suara-suara ributpun terdengar bersahutan. Hanya satu yang aku ketahui: Nurah telah meninggal dunia.

Aku tidak dapat lagi membedakan siapa yang datang. Aku juga tidak mengetahui lagi apa yang mereka ucapkan….

Ya Allah. Di mana aku, dan apa yang sedang terjadi? Menangispun, aku sudah tidak sanggup lagi.

Setelah itu mereka memberitahuku bahwa ayahku menarik tanganku untuk mengucapkan selamat tinggal kepada saudariku, untuk terakhir kalinya. Aku juga sempat menciumnya. Aku hanya ingat satu hal: ketika aku melihatnya ditutupkan, di atas pembaringan maut. Aku ingat akan kata-katanya: “Ketika betis-betis bertautan,” aku pun mengerti, bahwa: “semuanya tergiring menuju Rabbmu..”

Aku tidak ingat lagi bahwa aku pernah mengunjungi mushalanya, kecuali pada malam itu saja… Yakni ketika aku teringat, siapa yang menjadi pasanganku di rahim ibuku. Karena kami adalah dua anak kembar. Aku ingat, siapa yang selalu menemaniku dalam kedukaan. Aku ingat, siapa yang selalu menghilangkan kegundahanku. Siapa pula yang mendoakan diriku untuk mendapatkan petunjuk? Siapa pula yang berlinang air matanya sepanjang malam, ketika ia mengajakku berbicara tentang kematian, dan tentang hari hisab. Allah-lah yang menjadi tempat memohon pertolongan.

Inilah hari pertamanya di alam kubur. Ya Allah, berikanlah rahmat kepadanya di dalam kuburnya. Ya Allah berilah dia cahaya di dalam kuburnya.

Ini dia mushaf Al-Qur’annya, dan ini sajadahnya. Ini dan ini lagi. Bahkan ini, ini adalah rok merahnya yang pernah dia nyatakan: akan kusimpan, untuk hari pernikahanku nanti!!

Aku juga ingat, dan aku pun menangisi hari-hari yang telah berlalu itu. Aku terus saja menangis dan menangis berkepanjangan. Aku berdoa kepada Allah, agar memberi rahmat-Nya kepadaku, memberi taubat dan mengampuni diriku. Aku juga berdoa semoga saudariku itu mendapatkan keteguhan dalam kuburnya, sebagaimana juga yang sering menjadi doanya.

Secara tiba-tiba, aku bertanya kepada diriku sendiri: Bagaimana bila yang meninggal dunia adalah diriku? Kemana kira-kira tempat kembaliku? Aku tidak mampu mencari jawaban karena besarnya rasa takut yang mencekam diriku. Meledaklah tangisku dengan keras…

Allahu Akbar, Allahu Akbar. Adzan Shubuh pun berkumandang. Namun betapa merdunya terdengar kali ini.

Aku merasakan ketenangan dan ketentraman. Aku pun mengulangi apa yang diucapkan oleh sang muadzin. Aku melipat selimutku dan berdiri tegak untuk melaksanakan shalat Shubuh. Aku shalat, bagaikan orang yang melakukannya untuk terakhir kali, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh saudariku dahulu. Dan ternyata, itu memang shalatnya yang terakhir.

Bila datang waktu sore, aku tidak lagi menunggu waktu pagi. Dan bila datang waktu pagi, aku tidak lagi menunggu waktu sore…

Sumber: Perjalanan Menuju Hidayah (penerjemah: Abu Umar Basyir), penerbit: Darul Haq, cet. I, Ramadhan 1422 H / Desember 2001, hal. 2-10.

JANGAN KELUH KESAH : aku meninggalkan suami demi surga yang abadi.. 30 Januari 2011

Posted by jihadsabili in keluarga, munakahat, nasehat.
add a comment

JANGAN KELUH KESAH : aku meninggalkan suami demi surga yang abadi..


Ahmad bin ‘Ashim mengungkapkan: “Ini adalah sedikit harta yang dingin: Perbaikilah umurmu yang tersisa, semoga Allah mengampuni segala hal yang telah dilakukan sebelumnya.”

Pada zaman yang penuh dengan kejahilan, pada masa yang penuh dengan kelalaian, atau sebut terserah anda zaman apa saja sekarang ini; aku hidup dalam masa tidur yang nyenyak, tidur yang berkepanjangan..

Di tengah malam yang tidak ada fajar, di tengah kegelapan yang tidak ada sinar.

Segala kewajiban tidak memiliki arti bagiku. Segala perintah dan larangan tidak punya tempat dalam hidupku. Kehidupan bagiku adalah kenikmatan terus dan kelezatan…

Kehidupan adalah segalanya. Aku selalu bersenandung dan berkicau untuk kehidupan itu. Tawa selalu menemaniku, lagu-lagu selalu mengalir melalui lidahku. Mengalir tanpa batas. Hidup memang tidak mengenal ikatan…

Dua puluh tahun berlalu. Segala yang kuinginkan selalu tersaji di hadapanku.

Pada umur yang kedua puluh, aku telah tumbuh menjadi sekuntum mawar yang siap dipetik. Siapakah ksatria yang datang? Banyak persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi!!

Seorang lelaki datang, dengan kepulan asap rokok mengerubungi dirinya, didahului pula oleh suara musik. Ia berasal dari masyarakat yang sama, dari masyarakat yang tengah tertidur sebagaimana diriku, berbantalkan dosa-dosa dan berselimutkan kemaksiatan..

Burung-burung bergabung pada yang jenisnya sama, burung yang satu itu membawa diriku terbang di langit yang hitam: kemaksiatan dan dosa-dosa. Kami pun berkicau dan berdendang. Kami menelan kehidupan ini bulat-bulat. Tidak melihat ujungnya, karena saking panjangnya, dan tidak terlihat batasnya karena saking lebarnya. Perhatian kami cuma satu, dan tabiat kami juga saling mengikat: mencari lagu-lagu baru dan memperdebatkan berbagai pertandingan..

Demikianlah berlaku sepuluh tahun masa perkawinanku, bagaikan hembusan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku yang sudah kelelahan. Kebahagiaan yang palsu!!

Di tahun ini, umurku genap tiga puluh musim gugur. Semuanya sudah berlalu, sementara aku masih berjalan di tengah lorong yang gelap.

Bagaikan sinar matahari yang menembus kegelapan malam dan memecah-belah kegelapan itu. Bagaikan hujan di musim panas. Suara guntur, cahaya kilat, semua datang beriringan dengan hujan deras..

Mimpi menghiasi rintik-rintik hujan tersebut, kegembiraan dan pelangi..

Sebuah kaset dihadiahkan kepadaku oleh salah seorang kerabatku yang paling mulia. Ketika menghadiahkan kaset itu, ia berkata: “Itu berisi pendidikan anak.”

Aku ingat bahwa aku pernah berbincang-bincang dengannya tentang pendidikan anak beberapa bulan yang lalu. Kemungkinan ia memiliki perhatian dalam urusan itu.

Kaset untuk anak-anak. Aku mendengarkannya. Meskipun kaset itu bagaikan anak yatim di antara kaset-kaset lainnya yang kumiliki, namun aku mendengarkannya juga. Sekali, dua kali…

Aku bukan hanya tertarik, tetapi juga membuatku berkeinginan mencatat beberapa point penting di atas kertas. Aku tidak mengetahui, apa yang diucapkan kaset itu kepadaku. Sebuah ucapan gencar yang menggoyahkan akar-akar kelalaian dan bahkan membangun orang yang tidur. Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku bisa menerima pengajaran semacam itu pada diriku sendiri. Bahkan ini adalah perubahan yang cepat sekali. Aku belum pernah sebelumnya menggantikan posisi kaset lagu-lagu dengan kaset semacam ini!!

Aku meminta kaset-kaset lain. Aku mulai sadar dan terbangun. Aku selama ini dapat mengerti semua perkara, kecuali hidayah. Semua itu dari Allah, dan itu sudah cukup bagiku…

Inilah kebangkitanku dan itulah masa tidurku. Inilah kesadaranku, dan itulah masa lalaiku.

Akan tetapi yang menyakitkan diriku adalah bahwa selama tiga puluh tahun umurku habis. Kenapa umur sepanjang itu tidak kugunakan untuk berbuat ketaatan?

Detak jantungku berubah dan denyut kehidupanku juga mulai bertukar. Aku kini sudah terbangun. Siapa orang yang lebih berhak dengan kenikmatan ini dariku? Segala bekas tidurku segera kusingkirkan dari jalan hidupku. Dan segala yang tersimpan dalam rumahku kucampakkan. Demikian juga segala yang masih tergantung dalam hatiku pun segera kuhilangkan.

Suamiku berkata dalam keadaan yang sudah dipenuhi rasa khawatir: “Engkau mudah terpengaruh. Engkau tidak bisa menimbang-nimbang perkara!! Siapa yang menyematkan ke dalam kepalamu bahwa hal ini adalah haram, ini haram dan itu haram? Setelah berpuluh tahun engkau melakukannya? Sejak kapan turun fatwa haram itu?”

Aku berujar: “Ini adalah agama dan hukum Allah.” Selama ini kita wahai suamiku, berada dalam lorong kegelapan, berjalan di jalan yang licin dan berbahaya. Mulai hari ini, bahkan mulai sekarang juga, engkau harus menjaga shalatmu.” Namun setan kembali berbicara melalui lidahnya dan mengucapkan, “Apakah semua itu sekaligus?” Aku menjawab: “Demikianlah.”

Namun ternyata ia sudah tertidur nyenyak dan terlalu ramai. Ia tidak juga berubah. Aku sudah berusaha dan berusaha. Aku menjelaskan masalahnya kepadanya. Semoga dan mudah-mudahan aku bisa membuatnya takut kepada Allah, neraka, hisab dan siksa, juga gelapnya lubang kubur dan berbagai keadaan mencekam kala itu. Akan tetapi ia memiliki hati tak ubahnya sebongkah karang. Tidak mau melembut sedikitpun!!

Di tengah kesedihan yang merundung diriku, rasa takut juga selalu menemani hari-hariku, satu mataku memandang anak-anakku, dan sebelah mata yang lain memandang fatamorgana. Hidup bersama suami yang tidak shalat, sementara banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan begini dan begitu. Api seolah-olah membakar diriku… “Apakah yang menyebabkan kalian terjerumus ke dalam neraka Saqar?” Mereka berkata: “Kami tidak termasuk orang-orang yang shalat.”

Aku berbicara berkali-kali dengannya, kuulangi dan kuulangi lagi. Aku juga memperlihatkan kepadanya fatwa para ulama, dahulu maupun sekarang, bahwa orang yang tidak shalat harus dipisahkan dari istrinya karena ia adalah kafir. Dan, aku tidak akan tinggal bersama orang kafir…

Ia menengok dengan dingin dan penuh ejekan: “Bagaimana dengan anak-anakmu, bukankah engkau masih mencintainya?” Aku menjawab: “Allah adalah sebaik-baik Pemelihara dan Dia adalah Maha Pengasih lebih dari para pengasih selain-Nya..”

Bagaikan butiran-butiran yang beterbangan, terlepas dari kulitnya, aku mulai memgalami musibah demi musibah secara berturut-turut; penghinaan, pelecehan, ancaman dan intimidasi yang sungguh belum pernah pembaca dapatkan seumur hidup, seumur hidup..

Banyak sekali persoalan yang harus kuhadapi, di antaranya yang paling berat adalah karena ia tidak shalat! Apa yang dapat diharapkan dari orang yang tidak shalat?

Aku hidup dalam putaran gangsing yang tidak pernah berhenti, mengganggu tidurku, dan selalu dalam kegelisahan yang menghilangkan kenyamanan tidurku. Aku menelpon sebagian ulama..

Persoalannya bukan pada diriku saja, tetapi juga perasaanku dan juga anak-anakku..

Ketika aku mengetahui bahwa urusan ini begitu berbahaya, sementara aku harus menaati Allah dan Rasul-Nya. Aku pun memilih kehidupan akhirat dan surga yang seluas langit dan bumi daripada kehidupan dunia yang fana. Aku pun meminta cerai..

Sebuah kata pahit yang biasa diterima oleh seorang wanita pun aku rasakan, berusaha membunuh dan menikam jiwaku. Namun hatiku tetap lapang menerimanya, bahkan lukaku menjadi sembuh dan jiwaku menjadi tenang. Demi ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah. Aku menghapuskan dosa-dosa selama bertahun-tahun yang lalu dan menghilangkan berbagai noda yang kulakukan di masa lalu.

Aku mendapatkan ujian berat dalam diriku, dan dalam persoalan anak-anakku. Aku berusaha melupakan mereka sewaktu-waktu. Namun air mataku mengingatkan diriku kepada mereka. Salah seorang kerabat berkata kepadaku: “Kalau ia tidak juga membawa anak-anak itu segera, hak perwalian itu ada pada dirimu. Karena tidak ada perwalian orang kafir terhadap anak-anak muslim. Dia kafir, sementara anak-anakmu adalah muslim.”

Aku merasa terhibur dengan kisah Yusuf. Aku berkata pada diriku sendiri sementara air mataku tidak pernah berhenti mengalir: Siapa yang akan menolongku untuk mendapatkan ketabahan ayah beliau -’alaihimassalam-?”

Pada suatu pagi, rasa sedih mengoyak-oyak sinar fajar, malam terasa demikian panjang, membuat luka semakin parah. Aku harus mengunjungi putriku di sekolahnya.

Aku tidak kuat lagi untuk berpisah dengannya. Bara dalam hatiku membakar rasa rinduku kepadanya. Aku harus melihatnya. Aku khawatir jatuh pingsan karena beratnya menahan rasa rindu ini.

Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menunjukkan perasaanku kepadanya dan tidak juga menjelaskan perasaan jiwaku. Aku akan berdiri tegak. Namun bagaimana mungkin aku akan mampu berdiri tegak, sementara aku membawa kembang gula dalam tasku!!?

Aku melewati pintu sekolahnya menghadap dan siap memasukinya. Jantungku tidak pelak lagi langsung berdebar, mataku juga tidak bisa lagi memandang ke satu arah. Aku melongok ke kiri dan ke kanan mencari di mana putriku. Ketika aku menghenyakkan tubuhku di atas kursi di samping wanita kepala sekolah itu…

Kekuatanku kukerahkan, sementara aku mengusap keringat yang mengalir di keningku. Gemetar di ujung-ujung jariku tidak dapat kutahan lagi, namun kusembunyikan di belakang tasku. Nafasku turun naik, sementara lidahku terasa kelu. Aku merasa amat haus sekali..

Di tengah suasana menunggu orang yang kucintai, sang kepala sekolah berbicara dengan lega dan perasaan suka cita. Ia memuji putriku, memuji hafalan Al-Qur’an-nya. Ia berbicara panjang lebar, sementara aku dengan sabar mendengarkannya!! Aku berdiri di hadapan wanita itu sementara ia terus berbicara, sedangkan aku ingin segera melihat putriku. Jiwaku seolah diajak berbicara. Sementara hatiku terluka..

Tiba-tiba pintu terbuka… Aku menghadap ke arah pintu bagaikan sinar rembulan yang tertawan oleh awan di langit.

Pandangan mataku terhalang, dan air mataku jatuh berderai. Kelemahanku terlihat di hadapan wanita kepala sekolah itu, sehingga suaraku meninggi. Namun aku segera mendengar suara yang merdu yang setiap malam selalu akrab di telingaku, yang di kala susah menjadi penghibur hatiku…

“Sabarlah wahai saudariku, jangan engkau bersedih. Ini adalah cobaan dari Allah untuk melihat kejujuran taubatmu. Allah tidak akan menyia-nyiakan dirimu selamanya. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti akan Allah ganti dengan yang lebih baik darinya. Godaan, ia adalah godaan dalam agamamu.”

Aku keluar sambil mengumpat kepada diriku sendiri: “Kenapa aku harus datang ke sini?”

Hari-haripun berjalan dengan lambat. Sementara masa-masaku sarat dengan kesedihan. Aku berusaha mencari tahu kabar mereka. Aku bertanya tentang keadaan mereka. Enam bulan pun berlalu. Pada masa itu aku menanggung duka perpisahan dan merasakan kenikmatan kesabaran. Tiba-tiba pintu diketuk dari luar..

Siapa yang mengetuk pintu di sore-sore begini? Oh, ternyata mereka adalah buah hatiku. Allah telah membawa mereka kepadaku. Mantan suamiku telah menikah lagi, dan ingin berlepas diri dari mereka demi kebebasannya.

Dua malam berlalu. Mataku tak juga puas memandangi mereka. Telingaku tidak pernah mendengar suara yang lebih merdu dari suara mereka… Ciumanku bertubi-tubi menyentuh mereka bagaikan hujan yang menyentuh kulit bumi yang subur dengan tanaman. Aku menyadari, bahwa Allah telah mengabulkan doaku. Allah mengembalikan mereka kepadaku. Namun masih tersisa persoalan yang lebih besar lagi; yakni pendidikan mereka..

Aku kembali ingat hari kesadaranku. Aku mencari kaset tersebut. Aku memuji Allah atas taubatku itu… Aku telah melewati loromg gelap tersebut. Aku bersabar menghadapi cobaan. Aku terus memohon keteguhan kepada Allah. Keteguhan.

Sumber: Perjalanan Menuju Hidayah karya Abdul Malik Al-Qasim (penerjemah: Abu Umar Basyir), penerbit: Darul Haq, cetakan I, Ramadhan 1422 H / Desember 2001 M. Hal. 186-194.

HARI-HARI YANG TAK AKAN KEMBALI : di mana engkau setelah seratus tahun nanti.. 30 Januari 2011

Posted by jihadsabili in kematian, nasehat.
add a comment

HARI-HARI YANG TAK AKAN KEMBALI : di mana engkau setelah seratus tahun nanti..


Wahai orang yang menyiapkan hari esok untuk bertaubat kepada-Nya Apakah ia yakin akan kehadiran hari esok itu
Seorang manusia selalu tergelincir dalam angan-angannya
Sementara kematian selalu mengintip dan mengincarnya
Hari-hari dalam umurmu hanyalah hitungan hari-hari
Kemungkinan harimu ini adalah hi tungan yang terakhir kali

Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil merobek lembaran kalender. Ini adalah lembaran terakhir untuk kalender tahun ini…

Sudah habis satu tahun lagi dari umurku, tanpa aku sadari. Umurku hanyalah bilangan tahun-tahun. Setiap kali kulipat salah satu lembaran itu, semakin mendekatkan diriku ke liang kubur. Aku berdiri termangu memperhatikan tenggelamnya matahari untuk menggenapi satu tahun. Tahun itu tidak akan kembali. Aku telah melipat lembaran-lembarannya dan menyimpannya..

Apa yang dikerjakannya dalam tahun itu? Segala permulaan pasti memiliki penghujung. Dan setiap perjalanan pasti memiliki tujuan. Segala puji bagi Allah yang telah memanjangkan umurku.

Berapa banyak kekasih yang telah hilang dari kita, dan berapa mayit yang telah kita kebumikan. Segala puji bagi Allah dengan panjangnya umur ini.

Marilah ke sini, wahai istriku Azizah. Aku tahu bahwa engkau gembira dengan panggilan ini. Aku yakin itu. Akan tetapi ada masalah lebih penting dari itu.

Lembaran ini menceritakan kepadamu kisah satu tahun penuh yang telah berlalu. Memberikan hiburan kepadamu… Yakni tentang tahun yang telah terurai ikatannya dan terputus hari-harinya. Mari kita mengumpulkan kekuatan kita. Mungkin kita bisa mengembalikan barang satu detik dari umur kita… Apakah kita mampu?

Waktu-waktu yang panjang kita habiskan tanpa faidah. Musim-musim amal kebajikan berlalu tanpa ada yang diamalkan. Satu tahun berlalu, sementara kita tidak bisa mengembalikan sesaatpun daripadanya… Kita tidak mampu menambahkan apa-apa untuk waktu yang telah berlalu, meski hanya satu kali tahmid atau satu kali tasbih..

Kalau kita renungkan, berapa banyak waktu yang kita habiskam tanpa faidah? Tentu akan kita dapatkan banyak sekali, dan tentunya kita akan merenung sejenak..

Segala sesuatu bisa kita ulang kembali, kecuali waktu… Mari kita menghisab diri kita sendiri…

Setelah lama mendengar, istriku menjawab: “Engkau hanya menghisab dirimu setahun sekali. Adapun bisnismu, pekerjaanmu, maka htu setiap hari engkau pikirkan. Kenapa engkau tidak memikirkan akhiratmu?”

Aku terdiam… Namun dia melanjutkan: “Biarlah kita menghisab diri kita sendiri, meskipun terlambat. Tidak jadi masalah… Bertahmidlah kepada Allah karena engkau tidak menjadi janda karena kematianku..

Dan engkau -kata istriku- memujilah kepada Allah karena aku selalu di sisimu menolongmu untuk selalu taat kepada Allah..

Dalam satu tahun penuh. Ada orang yang menghafal Al-Qur’an. Banyak di antara mereka yang tidak pernah ketinggalan satu takbiratul ihram pun bersama imam. Banyak juga yang menjadikan cita-citanya untuk meninggikan Islam dan beramal untuk Islam..

Dalam satu tahun penuh… Berapa banyak orang yang bertaubat dan berserah diri kepada Allah. Bukankah kita melihat sendiri orang yang mengharuskan dirinya untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Bagaimana tidak, karena meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar itu adalah satu dosa besar.

Banyak juga orang yang menghisab dirinya setiap hari. Bahkan ada orang yang menghisab dirinya setiap hendak beraktifitas, diam atau berkata-kata. Bila ia anggap itu baik, akan dia lakukan. Bila tidak, ia akan membatasi dirinya dengan hukum Allah.

Setelah merenung sejenak..

Berapa banyak Al-Qur’an yang engkau baca setiap hari? Berapa banyak buku yang engkau baca setiap bulan?

Adapun ceramah dan pelajaran-pelajaran keilmuan, tidak ada lagi bagiannya dalam waktumu. Sekarang jawablah: “Apa yang telah engkau persembahkan kepada kaum muslimin dalam berbagi event? Mana zakat dari ilmumu? Dan mana pula zakat dari masa muda dan kesehatanmu?

Beberapa langkah kemudian, sampailah kami pada masalah tetangga. Berapa bulan engkau tidak mengunjunginya? Pernah engkau bertanya, kenapa mereka tidak menjaga shalat berjamaah?

Banyak lagi orang yang engkau lalaikan. Dan masih lebih banyak lagi yang menjadi tanggung jawabmu.

Setelah pertanyaan yang bertubi-tubi itu, tiba-tiba sebuah pertanyaan mengetuk hatiku dan menggetarkan jiwaku: “Setelah satu tahun berlalu, Allah telah membiarkan engkau hidup dan memanjangkan umurmu. Apa yang telah engkau persembahkan?”

Istriku menanti jawaban. Yang terjadi adalah keheningan. Ia meninggalkan diriku dengan lembaran kalender di tanganku. Dalam hatiku terbetik pertanyaan yang aneh: “Di mana engkau setelah seratus tahun nanti?” Aku menunduk dan berfikir. Sebentar saja suara itu hilang, kami sudah mengulang-ulang suara tersebut: “Kemana engkau akan pergi?” Aku menjawab: “Kemana pula aku setelah seratus tahun nanti?”

Engkau tahu, bahwa kuburan adalah tempat tinggalmu nanti. Umurmu adalah modal dasarmu. Engkau akan ditanya tentang apa yang engkau gunakan dari umurmu dan apa yang engkau kerjakan dengannya.

Dan kalian wahai generasi muda… Kemalasan adalah teman kalian. Cita-cita yang lemah adalah peliharaan kalian. Setiap orang yang shalat dan puasa, menganggap dirinya telah sampai tujuan. Tidak diragukan lagi, bukankah Islam masih memiliki hak lebih dari itu dalam hatimu? Masing-masing di antaramu dapat mempersembahkan lebih dari itu..

Adapun untuk Allah dan Islam, ada yang harus dibela oleh tua dan muda… Pertanyaannya kembali menggoncang diriku:

“Apa yang akan engkau persembahkan di tahun ini?”

Sumber: Perjalanan Menuju Hidayah karya Abdul Malik Al-Qasim (penerjemah: Abu Umar Basyir), penerbit: Darul Haq, cet. 1, Ramadhan 1422 H / Desember 2001 M. Hal. 163-167