jump to navigation

Doa Penawar Rasa Pesimis dan Merasa Sial 8 Maret 2011

Posted by jihadsabili in Doa.
add a comment

Doa Penawar Rasa Pesimis dan Merasa Sial

اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

Allaahumma Laa Khaira Illaa Khairuka, wa Laa Thaira Illaa Thairuka, wa Laa Ilaaha Ghairuka

“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang berasal dari-Mu dan tidak ada kesialan kecuali kesialan yang berasal dari-Mu (yang telah Engkau tetapkan), dan tidak ada tuhan selain Engkau.” (Hadits shahih, riwayat Ahmad)

Dasar Hadits

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ

Siapa yang mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Lalu para sahabat bertanya, “Apa tebusan bagi hal itu?” Beliau bersabda, “Hendaknya salah seorang mereka membaca,

اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang berasal dari-Mu dan tidak ada kesialan kecuali kesialan yang berasal dari-Mu (yang telah Engkau tetapkan), dan tidak ada tuhan selain Engkau.” (HR. Ahmad: 2/220, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma. Dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liq Musnad Ahmad no. 7045)

Apa itu Thiyarah?

Istilah Thiyarah atau Tathayyur berasal dari kata thair (burung). Karena bangsa Arab dahulu terbiasa meramal keberuntungan dan kesialan melalui burung dengan cara melepas burung. Jika ia terbang ke kanan, maka mereka bersemangat melanjutkan perjalan dan optimis mendapatkan kebaikan. Sebaliknya, jika terbang ke kiri, mereka menganggap akan datang kesialan dan sehingga mengagalkan rencananya.

Thiyarah atau tathayyur adalah anggapan sial karena melihat atau mendengar sesuatu, ataupun karena sesuatu yang sudah maklum, seperti menikahkan pada bulan Suro akan mendatangkan kesialan dan semisalnya. Dalam pengertian istilah ini, tathayur tidak hanya dengan isyarat burung saja.

Thiyarah atau tathayyur adalah anggapan sial karena melihat atau mendengar sesuatu, ataupun karena sesuatu yang sudah maklum, seperti menikahkan pada bulan Suro akan mendatangkan kesialan. . .

Thiyarah termasuk adat jahiliyah. Mereka menyandarkan nasib baik dan buruk kepada burung, kijang atau objek tathayyur lainnya. Sehingga mereka memutus rasa tawakkalnya kepada Allah Ta’ala dan bersandar kepada selain-Nya. Ini merupakan kesyirikan yang mengurangi kesempurnaan tauhid. Kemudian syariat yang hanif ini membatalkannya. Syariat mengingkari semua bentuk tathayyur dan pengaruhnya dalam mendatangkan kebaikan dan keburukan bagi seseorang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan berulang kali dalam hadits-haditsnya yang meniadakan pengaruh thiyarah, “Tidak ada thiyarah.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tujuh puluh ribu orang dari umatku akan masuk jannah tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta diobati dengan cara Kay, tidak meminta diruqyah, dan tidak bertathayyur. Sedangkan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas)

Bahkan dalam hadits dari Ibnu Mas’ud secara marfu’, bahwa thiyarah bagian dari kesyirikan,

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ

Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik –sebanyak tiga kali-.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 429)

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ

Siapa yang mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad)

Fungsi dan Manfaat Doa

Dalam kehidupan kita banyak keyakinan-keyakinan batil yang tersebar di masyarakat. Misalnya, ketika seorang muslim merencanakan safar, lalu sebelum berangkat ada burung gagak yang terbang dan suaranya yang berkoar-koar. Kemudian dia merasa akan datang musibah dan kesialan, sehingga dia menggagalkan rencananya atau tetap menjalankan rencananya dengan penuh kekhawatiran.

Merasa sial karena mendengar suara burung gagak di atas disebut tathayur (merasa sial/pesimis). Dan ini berlaku terhadap semua benda atau suara yang dijadikan sebagai objek tathayyur, misalnya melihat seorang buta ketika akan berdagang yang lalu muncul anggapan akan merugi dan semisalnya.

Keyakinan semacam ini termasuk perbuatan syirik yang menghilangkan kesempurnaan tauhid. Karena seseorang yang bertathayur telah memutus rasa tawakkalnya kepada Allah dan bersandar kepada selainnya. Juga, orang yang bertathayyur bergantung kepada sesuatu yang tidak jelas, bahkan hanya angan-angan dan hayalan yang tidak memiliki kaitan antara sebab dan akibat, baik langsung atau tidak. Orang yang berkeyakinan seperti ini, telah menciderai tauhidnya, karena tauhid adalah ibadah dan isti’anah (meminta pertolongan) kepada Allah semata. Sedangkan orang yang bertathayur akan mengagalkan rencananya tadi karena thiyarah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ

Siapa yang mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad)

Dikabarkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa perasaan thiyarah (merasa sial/pesimis karena melihat atau mendengar sesuatu) sering hadir pada diri kita, tak seorangpun dari kita yang kecuali pernah terbersit thatayyur dalam hatinya. Bagi orang yang lemah iman, maka dia akan menggagalkan rencana dan hajatnya tersebut. Atau yang lebih ringan, dia tetap menjalankan tapi dengan dihantui rasa takut, khawati, dan was-was.

TATHAYYUR termasuk perbuatan syirik yang menghilangkan kesempurnaan tauhid.

Karena seseorang yang bertathayur telah memutus rasa tawakkalnya kepada Allah dan bersandar kepada selainnya.

Sedangkan cara untuk mengatasi rasa pesimis dan merasa sial tadi adalah dengan bertawakkal kepada Allah dengan tetap menjalankan rencana baiknya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

Dan tidaklah salah seorang kita kecuali (terbersit thatayyur dalam hatinya) tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal.” (HR. Abu Dawud dan lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 429)

Dan salah satu cara untuk menangkal thatayyur –sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah- dengan membaca doa di atas yang berisi tawakkal kepada Allah dan berharap kebaikan dari-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Lalu para sahabat bertanya, “Apa tebusan bagi hal itu?” Beliau bersabda, “Hendaknya salah seorang mereka membaca,

اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang berasal dari-Mu dan tidak ada kesialan kecuali kesialan yang berasal dari-Mu (yang telah Engkau tetapkan), dan tidak ada tuhan selain Engkau.” (HR. Ahmad: 2/220, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma. Dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liq Musnad Ahmad no. 7045)

cara untuk mengatasi rasa pesimis dan merasa sial karen tathayyur  adalah dengan bertawakkal kepada Allah dengan tetap menjalankan rencana baiknya dan berdoa dengan doa di atas.

Kandungan Doa

1. Doa di atas mengajarkan agar hati senantiasa bergantung kepada Allah dalam meraih manfaat dan menolak keburukan. Dan inilah tauhid yang sebenarnya. Jika demikan, maka thiyarah yang terbersit dalam hati seorang hamba tidak membahayakannya. Hal itu karena dia tidak mempercayainya sehingga tetap melaksanakan rencana/niat baiknya sambil menguatkan tawakkalnya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya, salah satunya dengan membaca doa di atas.

Sesunguhnya thiyarah bisa menyebabkan kerugian dan yang dikhawatirkan benar terjadi karena persangka buruknya. Hal itu diakibatkan karena tidak murni dan tidak benar tawakkalnya kepada Allah, dan karena menuruti bisikan-bisikan syetan.

2. Bahwa Allah semata yang mendatangkan kebaikan bagi hamba dengan iradah (keinginan) dan masyi’ah (kehendak)-Nya. Begitu juga Allah semata yang kuasa menangkal keburukan dan kesialan dari hamba dengan kuasa dan kebaikan-Nya. Karena tidak ada kebaikan kecuali itu berasal dari-Nya.

3.Jika ada keburukan yang menimpa hamba, maka hakikatnya keburukan itu berasal dari-Nya, hanya saja itu disebabkan oleh tingkah laku dan kemaksiatannya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Al-Nisa’: 79)

4. Doa di atas mengajarkan bahwa semua kebaikan ada di tangan Allah sehingga hanya kepada-Nya kita meminta dan bertawakkal.

[PurWD/voa-islam.com]

Doa Tatkala Dirundung Gundah, Sedih, dan Perasaan Tak Menentu 8 Maret 2011

Posted by jihadsabili in Doa.
add a comment

Doa Tatkala Dirundung Gundah, Sedih, dan Perasaan Tak Menentu

اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي

Allaahumma innii ‘abduka wabnu ‘abdika wabnu amatik, naashiyatii biyadik, maadlin fiyya hukmuk, ‘adlun fiyya qadlaa’uk, as-aluka bikullismin huwa laka, sammaita bihi nafsaka, au anzaltahuu fii kitaabika, au ‘allamtahu ahadan min khalqika, awis ta’tsarta bihii fii ‘ilmil ghaibi ‘indaka, an taj’alal Qur’aana rabii’a qalbii wanuura shadrii wajalaa’a huzni wa dzahaaba hammii

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, dan anak hamba perempuan-Mu. Ubun-ubunku berada di tangan-Mu. Hukum-Mu berlaku pada diriku. Ketetapan-Mu adil atas diriku. Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya bagi dadaku dan pelipur kesedihanku serta pelenyap bagi kegelisahanku.”

Doa di atas didasarkan pada hadits dari Abdullah bin Mas’ud radliyallah ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang tertimpa kegundahan dan kesedihan lalu berdoa (dengan doa di atas) . . . melainkan Allah akan menghilangkan kesedihan dan kegelisahannya serta menggantikannya dengan kegembiraan.

Ibnu Mas’ud berkata, “Ada yang bertanya, ‘Ya Rasulallah, bolehkah kita mempelajarinya?‘ Beliau menjawab, ‘Ya, sudah sepatutnya orang yang mendengarnya untuk mempelajarinya’.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya I/391, 452, Al-Hakim dalam Mustadraknya I/509, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya VII/47, Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2372, Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 10198 –dari Maktabah Syamilah-. Hadits ini telah dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, keduanya banyak menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka. Juga dihasankan oleh Al-Hafidz dalam Takhriij Al-Adzkaar dan dishahihkan oleh Al-Albani  dalam al-Kalim al Thayyib hal. 119 no. 124 dan Silsilah Shahihah no. 199.)

Apabila yang Berdoa Seorang Wanita

Bentuk lafadz doa di atas untuk mudzakar (laki-laki), Ana ‘Abduka (aku hamba laki-laki-Mu), Ibnu ‘Abdika Wabnu Amatik (anak laki-laki dari hamba-laki-laki-Mu dan anak laki-laki dari hamba perempuan-Mu).  Kalau yang berdoa adalah laki-laki tentunya lafadz tersebut tepat dan tidak menjadi persoalan. Namun, bila yang berdoa seorang muslimah, apakah dia harus mengganti lafadz di atas dengan bentuk mu’annats (untuk perempuan), yaitu dengan Allaahumma Inni Amatuk, Ibnatu ‘Abdika, Ibnatu Amatik (Ya Allah aku adalah hamba wanita-Mu, anak perempuan dari hamba laki-laki-Mu dan anak perempuan dari hamba perempuan-Mu)?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang seorang wanita yang mendengar doa di atas, tapi dia tetap berpegang dengan lafadz hadits. Lalu ada yang berkata padanya, ucapkan, “Allahumma Inni Amatuk . . . .” namun dia menolak dan tetap memilih lafadz dalam hadits, apakah dia dalam posisi yang benar ataukah tidak?

Kemudian beliau menjawab, “Selayaknya dia mengucapkan dalam doanya, “Allahumma Inni Amatuk, bintu amatik  . . .” dan ini adalah yang lebih baik dan tepat, walaupun ucapannya, ‘Abduka, ibnu ‘abdika memiliki pembenar dalam bahasa Arab seperti lafadz zauj (pasangan; bisa digunakan untuk suami atau istri-pent), wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah: 22/488)

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah pernah juga ditanya tentang cara berdoanya seorang wanita dengan doa tersebut. Apakah wanita itu tetap mengucapkan, “wa ana ‘abduka wabnu ‘abdika” (dan saya adalah hamba laki-laki-Mu dan anak laki-laki dari hamba laki-laki-Mu) ataukah harus mengganti dengan, “Wa ana amatuk, ibnu ‘andika atau bintu ‘abdika“?

Beliau rahimahullah menjawab, “Persoalan ini luas Insya Allah, Persoalan dalam masalah ini luas. Apabila wanita itu berdoa sesuai dengan hadits, tidak apa-apa. Dan jika berdoa dengan bentuk yang ma’ruf bagi wanita, Allahumma innii amatuk, wabnutu ‘abdika, juga tidak apa-apa, semuanya baik. (http://binbaz.org.sa/mat/11509)

Kandungan Doa

Doa di atas mengandung persoalan-persoalan pokok dalam akidah Islam di antaranya:

1. Rasa gundah dan sedih yang menimpa seseorang akan menjadi kafarah (penghapus dari dosanya) berdasarkan hadits Mu’awiyah radliyallah ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sabda,

مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِي جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

Tidak ada sesuatu yang menimpa seorang mukmin pada tubuhnya sehingga membuatnya sakit kecuali Allah akan menghapuskan dosa-dosanya.” (HR. Ahmad 4/98, Al-Hakim 1/347 dan beliau menyatakan shahih sesuai syarat Syaikhain. Imam al-Dzahabi menyepakatinya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam al-Shahihah 5/344, no. 2274)

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Tidaklah menimpa seorang muslim kelelahan, sakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan dan duka, sampai pun duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah akan menghapus dengannya dosa-dosanya.” (Muttafaqun alaih)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Syarh Riyadhish Shalihin (1/94): “Apabila engkau ditimpa musibah maka janganlah engkau berkeyakinan bahwa kesedihan atau rasa sakit yang menimpamu, sampaipun duri yang mengenai dirimu, akan berlalu tanpa arti. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menggantikan dengan yang lebih baik (pahala) dan menghapuskan dosa-dosamu dengan sebab itu. Sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya. Ini merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, bila musibah itu terjadi dan orang yang tertimpa musibah itu:

a. Dia mengingat pahala dan mengharapkannya, maka dia akan mendapatkan dua balasan, yaitu menghapus dosa dan tambahan kebaikan (sabar dan ridha terhadap musibah).

b. Dia lupa (akan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala), maka akan sesaklah dadanya sekaligus menjadikannya lupa terhadap niat mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.

Apabila engkau ditimpa musibah maka janganlah engkau larut dalam kesedihan karena kesedihan atau rasa sakit yang menimpamu, tak akan akan berlalu tanpa arti.

Dengannya Allah akan memberi pahala dan menghapuskan dosamu. . .

Dari penjelasan ini, ada dua pilihan bagi seseorang yang tertimpa musibah: beruntung dengan mendapatkan penghapus dosa dan tambahan kebaikan, atau merugi, tidak mendapatkan kebaikan bahkan mendapatkan murka Allah Ta’ala karena dia marah dan tidak sabar atas taqdir tersebut.”

2. Kedudukan ubudiyah merupakan tingkatan iman tertinggi. Karenanya, seorang muslim wajib menjadi hamba Allah semata dan senantiasa beribadah kepada-Nya, Dzat yang tidak memiliki sekutu. Hal ini ditunjukkan lafadz, Inni ‘Abduka Wabnu ‘Abdika Wabnu Amatik (Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, dan anak hamba perempuan-Mu).

Kedudukan ubudiyah merupakan tingkatan iman tertinggi. Karenanya, seorang muslim wajib menjadi hamba Allah semata dan senantiasa beribadah kepada-Nya, Dzat yang tidak memiliki sekutu.

3. Semua urusan hamba berada di tangan Allah yang diarahkan sekehandak-Nya. Dan masyi’ah (kehendak) hamba mengikuti kehendak Allah. hal ini ditunjukkan oleh lafadz, Naashiyatii biyadik (Ubun-ubunku berada di tangan-Mu).

4. Allah yang berhak mengadili dan memutuskan perkara hamba-hamba-Nya dalam perselisihan di antara mereka. Hal ini ditunjukkan oleh lafadz, ‘Adlun fiyya qadla-uka (Ketetapan-Mu adil atas diriku). Allah Ta’ala berfirman,

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, . .” (QS. Yuusuf: 40)

5. Ketetapan takdir-Nya adil dan baik bagi seorang muslim. Jika dia mendapat kebaikan, bersyukur, dan itu baik baginya. Sebaliknya, bila tertimpa keburukan (musibah atau bencana) dia bersabar, dan itupun baik baginya. Semua perkara orang mukmin itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh ornag beriman. (HR. Muslim)

6. Anjuran untuk bertawassul dengan Asmaul Husna (Nama-nama Allah yang Mahaindah) dan sifat-sifatnya yang Mahatinggi. Allah perintahkan sendiri bertawassul dengannya dalam firman-Nya,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah asmaulhusna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu . .” (QS. Al-A’raaf: 180)

7. Nama-nama Allah dan sifat-sifatnya adalah tauqifiyyah yang tidak diketahui kecuali melalui wahyu. Allah sendiri yang menamakan diri-Nya dengan nama-nama tersebut dan mengajarkannya kepada para hamba-Nya.

8. Nama-nama Allah tidak terbatas pada 99 nama. Hal ini ditunjukkan oleh lafadz, awis ta’tsarta bihii fii ‘ilmil ghaibi ‘indaka (atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu).

Sedangkan hadits yang menerangkan jumlah nama Allah ada 99,

إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, siapa yang menghafalnya pasti masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim) Menurut imam al-Khathabi dan lainnya, maknanya adalah seperti orang yang mengatakan “Saya memiliki 1000 dirham yang kusiapkan untuk sedekah,” yang bukan berarti uangnya hanya 1000 dirham itu saja. (Majmu’ Fatawa: 5/217)

9. Al-Qur’an memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus. Keberadaannya laksana musim semi bagi hati orang mukmin, memberi kenyamanan pada hatinya, menjadi cahaya bagi dadanya, sebagai pelipur kesedihannya, dan penghilang bagi kesusahannya. Hal ini menunjukkan kedudukan Al-Qur’an yang sangat tinggi dalam kehidupan manusia, baik individu, masyarakat, atau suatu umat.

10. Siapa yang datang kepada Allah pasti Allah akan mencukupkannya, siapa yang menghaturkan kefakirannya kepada Allah, Dia pasti mengayakannya. Siapa yang meminta kepada-Nya, pasti Dia akan memberinya. Hal ini ditunjukkan lafadz hadits, “Melainkan Allah akan menghilangkan kesedihan dan kesusahannya serta menggantikannya dengan kegembiraan.”

11. Wajib mempelajari Al-Sunnah dan mengamalkan serta mendakwahkannya. Sesungguhnya Sunnah memuat petunjuk kehidupan manusia secara keseluruhan. Hal ini ditunjukkan oleh kalimat di ujung hadits, “Ya, sudah sepatutnya orang yang mendengarnya untuk mempelajarinya.” Wallahu a’lam bil Shawab.

Oleh: Badrul Tamam

Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Mengusap Muka Dengan Kedua Tangan Sesudah Selesai Berdo’a 26 Januari 2011

Posted by jihadsabili in Doa.
add a comment

Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Mengusap Muka Dengan Kedua Tangan Sesudah Selesai Berdo’a

Sering kita melihat diantara saudara-saudara kita apabila mereka telah selesai berdo’a, mereka mengusap muka mereka dengan kedua telapak tangan.. Mereka yang mengerjakan demikian, ada yang sudah mengetahui dalilnya akan tetapi mereka tidak mengetahui derajat dalil itu, apakah sah datangnya dari Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam atau tidak .? Ada juga yang mengerjakan karena turut-turut (taklid) saja. Oleh karena itu jika ada orang bertanya kepada saya : “Adakah dalilnya tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo’a dan bagaimana derajatnya, sah atau tidak datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ..? Maka saya jawab ; “Tentang dalilnya ada beberapa riwayat yang sampai kepada kita, akan tetapi tidak satupun yang sah (shahih atau hasan) datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Untuk itu ikutilah pembahasan saya di bawah ini, mudah-mudahan banyak membawa manfa’at bagi saudara-saudaraku

 

Hadits Pertama

“Artinya : Dari Ibnu Abbas, ia berkata ; “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : Apabila engkau meminta (berdo’a) kepada Allah, maka hendaklah engkau berdo’a dengan kedua telapak tanganmu, dan janganlah engkau berdo’a dengan kedua punggung (telapak tangan). Apabila engkau telah selesai berdo’a, maka usaplah mukamu dengan kedua telapak tanganmu”. [Riwayat Ibnu Majah No. Hadits 181 dab 3866]

 

Hadits ini derajatnya sangatlah lemah/dla’if. Karena di sanadnya ada seorang (rawi) yang bernama SHALIH BIN HASSAN AN-NADLARY. Tentang dia ini telah sepakat ahli hadits melemahkannya sebagaimana tersebut di bawah ini :

 

[1]. Kata Imam Bukhari, “Munkarul hadits (orang yang diingkari hadits/riwayatnya)”.

[2]. Kata Imam Abu Hatim, “Munkarul hadits, dla’if.”

[3]. Kata Imam Ahmad bin Hambal, “Tidak ada apa-apanya (maksudnya : lemah)”.

[4]. Kata Imam Nasa’I, “Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya)”

[5]. Kata Imam Ibnu Ma’in, Dia itu dla’if.

[6]. Imam Abu Dawud telah pula melemahkannya.

[Baca : Al-Mizanul ‘Itidal jilid 2 halaman 291, 292]

 

Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas, akan tetapi di sanadnya ada seorang rawi yang tidak disebut namanya (dalam istilah ilmu hadits disebut rawi mubham). sedang Imam Abu Dawud sendiri telah berkata : “Hadits inipun telah diriwayatkan selain dari jalan ini dari Muhammad bin Ka’ab al-Quradzy (akan tetapi) semuanya lemah. Dan ini jalan yang semisalnya, dan dia ini (hadits Ibnu Abbas) juga lemah”.

[Baca Sunan Abi Dawud No. hadits 1485]

 

Hadits Kedua

Telah diriwayatkan oleh Saa-ib bin Yazid dari bapaknya (Yazid) :

 

“Artinya : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila beliau berdo’a mengangkat kedua tangannya, (setelah selesai) beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya”. [Riwayat : Imam Abu Dawud No. hadits 1492]

 

Sanad hadits inipun sangat lemah, karena di sanadnya ada rawi-rawi :

 

[1]. IBNU LAHI’AH, Dia ini seorang rawi yang lemah[1]

[2]. HAFSH BIN HASYIM BIN ‘UTBAH BIN ABI WAQQASH, Dia ini rawi yang tidak diketahui/dikenal (majhul). [Baca : Mizanul ‘Itidal jilid I halaman. 569].

 

Hadits Ketiga

Telah diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata :

 

“Artinya : Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo’a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya”. [Riwayat : Imam Tirmidzi]

 

Hadits ini sangat lemah, karena disanadnya ada seorang rawi bernama HAMMAD BIN ISA AL-JUHANY.

 

[1]. Dia ini telah dilemahkan oleh Imam-imam : Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni.

[2]. Imam Al-Hakim dan Nasa’i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.

[Baca : Al-Mizanul ‘Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid 3 halaman. 18-19]

 

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo’a, maka sesungguhnya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak (jumlahnya). Sedangkan tentang beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya (sesudah berdo’a), maka tidak ada padanya (hadits yang shahih lagi banyak), kecuali satu-dua hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah (alasan tentang bolehnya mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo’anya”.

[Baca : Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 22 halaman 519].

 

Saya berkata : Perkataan Ibnu Taimiyah tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih lagi banyak, sangat benar dan tepat sekali. Bahkan hadits-haditsnya dapat mencapai derajat mutawatir karena telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat. Di bawah ini saya sebutkan sahabat yang meriwayatkannya dan Imam yang mengeluarkan haditsnya :

 

[1]. Oleh Abu Humaid (Riwayat Bukhari dan Muslim).

[2]. Oleh Abdullah bin Amr bin Ash (Riwayat Bukhari dan Muslim).

[3]. Oleh Anas bin Malik (Riwayat Bukhari) tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a di waktu perang Khaibar dengan mengangkat kedua tangannya.

[4]. Oleh Abu Musa Al-Asy’ariy (Riwayat Bukhari dan lain-lain).

[5]. Oleh Ibnu Umar (Riwayat Bukhari).

[6]. Oleh Aisyah (Riwayat Muslim).

[7]. Oleh Abu Hurairah (Riwayat Bukhari).

[8]. Oleh Sa’ad bin Abi Waqqash (Riwayat Abu Dawud).

 

Dan lain-lain lagi shahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya di berbagai tempat. Semua riwayat di atas (yaitu : tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a mengangkat kedua tangannya) adalah merupakan fi’il (perbuatan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang merupakan qaul (perkataan/sabda) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada diriwayatkan oleh Malik bin Yasar (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 

“Artinya : Apabila kamu meminta (berdo’a) kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan telapak tangan kamu, dan janganlah kamu meminta kepada-Nya dengan punggung (tangan)”. [Shahih Riwayat : Abu Dawud No. 1486]

 

Kata Ibnu Abbas (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) :

 

“Artinya : Permintaan (do’a) itu, yaitu : Engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu”. [Riwayat Abu Dawud No. 1486]

 

Kata Ibnu Abbas (Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) :

 

“Artinya : Permintaan (do’a) itu yaitu engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu” [Riwayat Abu Dawud No. 1489]

 

Adapun tentang tambahan “mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo’a” telah kita ketahui, semua riwayatnya sangat lemah dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi yang sunahnya itu hanya mengangkat kedua telapak tangan waktu berdoa.

 

Adalagi diriwayatkan tentang mengangkat kedua tangan waktu berdo’a.

 

“Artinya :Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah itu baik, dan Ia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah perintahkan mu’minim sebagaimana Ia telah perintahkan para Rasul, Ia telah berfirman : “Wahai para Rasul !.. Makanlah dari yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih, sesungguhnya Aku dengan apa-apa yang kamu kerjakan maha mengetahui “. (Surat Al-Mu’minun : 51). Dan Ia telah berfirman (pula) : “Wahai orang-orang yang beriman !. Makanlah dari yang baik-baik apa-apa yang Kami telah rizkikan kepada kamu”. (Surat Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang mengadakan perjalanan jauh dengan rambut kusut masai dan berdebu. (orang tersebut) mengangkat kedua tangannya ke langit (berdo’a) : Ya Rabbi ! Ya Rabbi ! (Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya) : “Sedangkan makanannya haram dan minumannya haram dan pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana dapat dikabulkan (do’a) nya itu”.[Shahih Riwayat Muslim 3/85]

 

Di hadits ini ada dalil tentang bolehnya mengangkat kedua tangan waktu berdo’a (hukumnya sunat). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menceritakan tentang seseorang yang berdo’a sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Orang tersebut tidak dikabulkan do’anya karena : Makanannya, minumannya, pakaiannya, dan diberi makan dari barang yang haram atau hasil yang haram[2]

 

KESIMPULAN

[1]. Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo’a. Semua hadits-haditsnya sangat dla’if dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya.

[2]. Karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mengamalkannya berarti BID’AH.

[3]. Berdo’a dengan mengangkat kedua tangan hukumnya sunat dengan mengambil fi’il dan qaul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah sah.

[4]. Ada lagi kebiasaan bid’ah yang dikerjakan oleh kebanyakan saudara-saudara kita yaitu : Mengusap muka dengan kedua telapak tangan atau satu telapak tangan sehabis salam dari shalat.[3]

 

[Disalin dari buku Al-Masas-il (Masalah-masalah agama) Jilid 1, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qlam, Jakarta, Cetakan III Th 1423H/2002M]

__________

Foote Note

[1]. Apabila yang meriwayatkan dari Abdullah bin Lahi’ah bukan Abdullah bin Mubarak atau Abdullah bin Wahab atau Abdullah bin Yazid. Kalau salah satu dari tiga orang di atas meriwayatkan hadits dari Ibnu Lahi’ah, maka haditsnya Ibnu Lahi’ah shahih atau sekurang-kurangnya hasan. Sedangkan riwayat di atas tidak diriwayatkan oleh salah seorang yang saya terangkan di atas.

[2]. Diantara faedah dari hadits yang mulia ini ialah :

(1). Sunnat berdo’a dengan mengangkat kedua tangan.

(2). Bertawwassul di dalam berdo’a dengan nama dan sifat Allah seperti : Ya Rabbi, Ya Rabbi.

(3). Perintah makan dan minum dari zat yang halal dan dari hasil yang halal.

(4). Larangan makan dan minum dari zat yang haram seperti babi dan khamr dan dari hasil yang haram.

(5). Salah satu syarat diterimanya do’a ialah dengan makan dan minum yang halal.

(6). Salah satu dari sekian sebab tidak diterimanya do’a seseorang karena makanan dan minumannya dari yang haram atau diberi makan dari yang haram.

Memperbanyak Ucapan ‘Lâ Haula wa lâ Quwwata Illâ Billâh’ 26 Januari 2011

Posted by jihadsabili in Doa.
1 comment so far

Wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari

 

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.

 

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.

 

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:

1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).

2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.

3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).

4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).

5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).

 

Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2166).

 

FIQIH HADITS (4) : MEMPERBANYAK UCAPAN LA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH (TIDAK ADA DAYA DAN UPAYA KECUALI DENGAN PERTOLONGAN ALLAH)

 

Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kalimat lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh?

 

Jawabannya, agar kita melepaskan diri kita dari segala apa yang kita merasa mampu untuk melakukannya, dan kita serahkan semua urusan kepada Allah. Sesungguhnya yang dapat menolong dalam semua aktivitas kita hanyalah Allah Ta’ala, dan ini adalah makna ucapan kita setiap kali melakukan shalat,

 

“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”. [al-Fâtihah/1:5].

 

Dan kalimat ini, adalah makna dari doa yang sering kita ucapkan dalam akhir shalat kita:

 

اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.

 

“Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu” [1].

 

Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin duduk di majlis ilmu, melainkan dengan pertolongan Allah. Seorang guru tidak akan mungkin dapat mengajarkan ilmu yang bermanfaat, melainkan dengan pertolongan Allah. Begitupun seorang pegawai, tidak mungkin dapat bekerja melainkan dengan pertolongan Allah.

 

Seorang hamba tidak boleh sombong dan merasa bahwa dirinya mampu untuk melakukan segala sesuatu. Seorang hamba seharusnya menyadari bahwa segala apa yang dilakukannya semata-mata karena pertolongan Allah. Sebab, jika Allah tidak menolong maka tidak mungkin dia melakukan segala sesuatu. Artinya, dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba berarti telah menunjukkan kelemahan, ketidakmampuan dirinya, dan menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan Allah.

 

FIQIH HADITS (5) : BERANI MENGATAKAN KEBENARAN MESKIPUN PAHIT

 

Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk mengucapkannya, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu jelas sebagai sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang haram adalah halal, yang syirik dikatakan tauhid, perbuatan bid’ah adalah Sunnah, dan yang munkar dikatakan ma’ruf.

 

Menyembah kubur, misalnya, yang sudah jelas perbuatan syirik namun banyak para dai yang beralasan bahwa hal tersebut, adalah permasalahan yang masih diperselisihkan. Seorang dai harus tegas mengatakan kebenaran, perbuatan yang bid’ah harus dikatakan bid’ah, dan perbuatan yang haram harus dikatakan haram, dengan membawakan dalil dan penjelasan para ulama tentang keharamannya.

 

Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa.

 

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.

 

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zhalim”. [2]

 

Yaitu dengan mendatangi mereka dan menasihati mereka dengan cara yang baik. Jika tidak bisa, dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui orang yang menjadi wakil mereka, tidak dengan mengadakan orasi, provokasi, demonstrasi. Dan tidak boleh menyebarkan aib mereka melalui mimbar, mimbar Jum’at, dan yang lainnya.

 

Islam telah memberikan ketentuan dalam menasihati para pemimpin (ulil amri). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.

 

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya”[3].

 

PENUTUP

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala. Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan para sahabat beliau.

 

Akhir seruan kami, segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.

 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_______

Footnote

[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1522), an-Nasâ`i (III/53), Ahmad (V/245), dan al-Hakim (I/173, III/273) beliau menshahîhkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[2]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Majah (no. 4012), ath-Thabrani dalam al-Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2473), dan selainnya. Dari Sahabat Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 490).

[3]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, Bab: Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil- Wulât (II/ 507-508 no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm Radhiyallahu ‘anhu.

 

Marâji’:

1. Al-Qur`ânul-Karim dan terjemahannya, terbitan Departemen Agama.

2. al-Adabul-Mufrad.

3. Al-Mu’jamul-Kabîr.

4. An-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts.

5. As-Sunanul-Kubra.

6. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.

7. Al-Washâya al-Mimbariyyah, karya ‘Abdul-‘Azhim bin Badawi al-Khalafi.

8. Hilyatul Auliyâ`.

9. Irwâ`ul Ghalîl fî Takhriji Ahâdîtsi Manâris Sabîl.

10. Lisânul-‘Arab.

11. Mawâridizh Zhamm`ân.

12. Mufrâdât Alfâzhil-Qur`ân.

13. Musnad ‘Abd bin Humaid.

14. Musnad al-Humaidi.

15. Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaini. Karya Imam al-Hakim an-Naisaburi.

16. Musnad Imam Ahmad.

17. Qathî`atur Rahim; al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul ‘Ilâj, oleh Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd.

18. Shahîh al-Bukhari.

19. Shahîh Ibni Hibban.

20. Shahîh Ibni Khuzaimah.

21. Shahîh Muslim.

22. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.

23. Sunan Abu Dawud.

24. Sunan an-Nasâ`i.

25. Sunan at-Tirmidzi.

26. Sunan Ibni Majah.

27. Syarah Shahîh Muslim.

28. Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi.

29. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari, Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.

30. Tafsîr Ibni Katsir, Cet. Darus-Salam, Riyadh.

Do’a Qunut Ketika Shubuh 25 Januari 2011

Posted by jihadsabili in Doa, shalat.
add a comment

Tanya:

Assalamu’alaikum Wr Wb

Apakah Rasul baca doa qunut bila shalat shubuh sepanjang hayat? Kapan beliau berqunut? Mohon penjelasan dengan dasar hadits shahih lengkap!

 

P. Mul 0274 782xxxx

Jawab:

 

Pertanyaan senada pernah dilayangkan kepada Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.

Beliau ditanya,

“Apakah disyariatkan menggunakan doa qunut witir (yaitu allahummahdini fiman hadaita …) pada rakaat terakhir shalat shubuh?!”

Jawaban beliau,

 

“Doa qunut witir yang terkenal yang Nabi ajarkan kepada al Hasan bin Ali yaitu allahummahdini fiman hadaita …tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan doa tersebut untuk selain shalat witir. Tidak terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi berqunut dengan membaca doa tersebut baik pada shalat shubuh ataupun shalat yang lain.

Qunut dengan menggunakan doa tersebut di shalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan qunut shubuh namun dengan doa yang lain maka inilah yang diperselisihkan di antara para ulama. Ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang paling tepat adalah tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum.

 

Misalnya ada bencana selain wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyariatkan untuk berqunut pada semua shalat wajib, termasuk di dalamnya shalat shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.

Meski demikian, andai imam melakukan qunut pada shalat shubuh maka seharusnya makmum tetap mengikuti qunut imam dan mengaminkan doanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin.

Sedangkan timbulnya permusuhan dan kebencian karena perbedaan pendapat semacam ini adalah suatu yang tidak sepatutnya terjadi. Masalah ini adalah termasuk masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Menjadi kewajiban setiap muslim dan para penuntut ilmu secara khusus untuk berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat antara dirinya dengan saudaranya sesama muslim. Terlebih lagi jika diketahui bahwa saudaranya tersebut memiliki niat yang baik dan tujuan yang benar. Mereka tidaklah menginginkan melainkan kebenaran. Sedangkan masalah yang diperselisihkan adalah masalah ijtihadiah. Dalam kondisi demikian maka pendapat kita bagi orang yang berbeda dengan kita tidaklah lebih benar jika dibandingkan dengan pendapat orang tersebut bagi kita. Hal ini dikarenakan pendapat yang ada hanya berdasar ijtihad dan tidak ada dalil tegas dalam masalah tersebut. Bagaimanakah kita salahkan ijtihad orang lain tanpa mau menyalahkan ijtihad kita. Sungguh ini adalah bentuk kezaliman dan permusuhan dalam penilaian terhadap pendapat” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/12-13, pertanyaan no 772, Maktabah Syamilah).

Pada kesempatan lain, Ibnu Utsaimin mengatakan,

 

“Qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab syar’i yang menuntut untuk melakukannya adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut shubuh secara terus menerus tanpa sebab. Yang ada beliau melakukan qunut di semua shalat wajib ketika ada sebab. Para ulama menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut di semua shalat wajib jika ada bencana yang menimpa kaum muslimin yang mengharuskan untuk melakukan qunut. Qunut ini tidak hanya khusus pada shalat shubuh namun dilakukan pada semua shalat wajib.

Tentang qunut nazilah (qunut karena ada bencana yang terjadi), para ulama bersilang pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya, apakah penguasa yaitu pucuk pimpinan tertinggi di suatu negara ataukah semua imam yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid ataukah semua orang boleh qunut nazilah meski dia shalat sendirian.

Ada ulama yang berpendapat bahwa qunut nazilah hanya dilakukan oleh penguasa. Alasannya hanya Nabi saja yang melakukan qunut nazilah di masjid beliau. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa selain juga mengadakan qunut nazilat pada saat itu.

Pendapat kedua, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah imam shalat berjamaah. Alasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan qunut karena beliau adalah imam masjid. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat” (HR Bukhari).

 

Pendapat ketiga, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah semua orang yang mengerjakan shalat karena qunut ini dilakukan disebabkan bencana yang menimpa kaum muslimin. Sedangkan orang yang beriman itu bagaikan sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga. Sehingga qunut nazilah bisa dilakukan oleh penguasa muslim di suatu negara, para imam shalat berjamaah demikian pula orang-orang yang mengerjakan shalat sendirian.

Akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Nabi.

Bila ada sebab maka boleh melakukan qunut di semua shalat wajib yang lima meski ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya sebagaimana telah disinggung di atas.

Akan tetapi bacaan qunut dalam qunut nazilah bukanlah bacaan qunut witir yaitu “allahummahdini fiman hadaita” dst. Yang benar doa qunut nazilah adalah doa yang sesuai dengan kondisi yang menyebabkan qunut nazilah dilakukan. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?

Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan. Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.

Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,

“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”

(Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/14-16, pertanyaan no 774, Maktabah Syamilah).

Doa Sholat Istikharah 20 Januari 2011

Posted by jihadsabili in Doa, jodoh.
add a comment

Doa Sholat Istikharah

Posted on 21 Agustus 2007 by Admin Blog Sunniy Salafy

Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengajari kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana mengajari surah Al-Quran. Beliau bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua rakaat, kemudian bacalah doa ini:

((اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمَّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ)).

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepadaMu dengan ilmu pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaanMu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kemahakuasaanMu. Aku mohon kepadaMu sesuatu dari anugerahMu Yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku atau -Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: …di dunia atau akhirat- sukseskanlah untukku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkan persoalan tersebut, dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaanMu kepadaku.” [89]

Tidak menyesal orang yang beristikharah kepada Al-Khaliq dan bermusyawarah dengan orang-orang mukmin dan berhati-hati dalam menangani persoalannya. Allah Ta’ala berfirman:

“… dan bermusyawarahlah kepada mereka (para sahabat) dalam urusan itu (peperangan, perekonomian, politik dan lain-lain). Bila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah…” (Ali Imran, 3: 159)
———————————

[89] HR. Al-Bukhari 7/162.


Kumpulan Do’a-do’a dikutip dari Asy-Syariah : 17 Januari 2011

Posted by jihadsabili in Doa.
1 comment so far

Kumpulan Do’a-do’a dikutip dari Asy-Syariah :

Doa Selesai Adzan

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ (اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ) حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

رواه البخاري

Dari Jabir ibnu Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berdoa ketika selesai mendengar adzan:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ

(Ya Allah, Rabb (pemilik) panggilan yang sempurna ini dan (pemilik) shalat yang (hendak) didirikan. Berilah Al-Wasilah dan Al-Fadhilah kepada Muhammad, dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati kedudukan yang terpuji yang telah Engkau janjikan) maka dia berhak mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Adzan Bab Ad-Du’a ‘inda An-Nida, no. 579)

Dan disunnahkan membaca Shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum membaca doa ini berdasarkan hadits Abdillah bin Amr bin Al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim no. 384 (Asy-Syarhul Mumti’, 2/78)

Doa Iftitah

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dengan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran-kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, es, dan salju.” (HR. Al-Bukhari no. 744 dan Muslim no. 598 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Riwayat yang paling shahih (dari doa-doa istiftah) adalah hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan (di atas, red).” (Nailul Authar, 2/11)

Dzikir dalam Ruku’ dan Sujud

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُوْلَ فِيْ رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ: سُبْحاَنَكَ اللَّهُمَّ رَبَّناَ وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak membaca di dalam ruku’ dan sujudnya:

سُبْحاَنَكَ اللَّهُمَّ رَبَّناَ وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي

Maha Suci Engkau ya Allah Rabb kami, dan dengan puji-Mu ya Allah ampunilah dosaku.” (HR. Al-Bukhari no. 794 dan Muslim no. 1085, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Bacaan Tasyahud

التَّحِياَتُ ِللهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّباَتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهاَ النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْناَ وَعَلَى عِباَدِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

Segala penghormatan (pengagungan), shalat, kebaikan-kebaikan (berupa perkataan-perkataan, amalan-amalan dan sifat-sifat) adalah untuk Allah Subhanahu wa ta’ala . Semoga keselamatan terlimpahkan kepadamu wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dan barakah-Nya. Keselamatan semoga terlimpahkan kepada kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah Subhanahu wa ta’ala , dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah ibnu Mas’ud )

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam telah mengajarkan kepada umatnya beberapa bacaan tasyahud, di antaranya adalah hadits Ibnu Mas’ud ini.

Al-Imam An-Nawawi telah menukilkan kesepakatan para ulama tentang bolehnya membaca salah satu dari doa-doa tersebut. (Syarah Shahih Muslim, 4/336)

Mayoritas fuqaha (ahli fiqih) dan ahlul hadits berpendapat bahwa bacaan tasyahud Ibnu Mas’ud adalah tasyahud yang paling afdhal. (Syarah Shahih Muslim, 4/336)

Al-Imam At-Tirmidzi berkata dalam Jami’-nya (2/82): “Dan hadits Ibnu Mas’ud diriwayatkan dari beberapa jalan, dan dia (hadits Ibnu Mas’ud) adalah hadits yang paling shahih di dalam (permasalahan) tasyahud, serta merupakan amalan yang dikerjakan kebanyakan ahli ilmu dari kalangan shahabat dan tabi’in.”

Doa Keluar dari Rumah

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَالَ يَعْنٍي إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ، بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، يُقَالُ لَهُ: كُفِيْتَ وَوُقِيْتَ وَتَنَحَّى عَنْهُ الشَّيْطَانُ

Barangsiapa yang berkata –yakni ketika keluar dari rumahnya:

بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

Dengan nama Allah aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.’ Maka akan dikatakan kepadanya: ‘Engkau telah dicukupi dan dilindungi.’ Dan setan akan menjauh darinya.” (HR. At-Tirmidzi, Kitab Ad-Da’awat ‘an Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wassalam, Bab Ma Ja`a Ma Yaqulu Idza Kharaja min Baitihi, no. 3348. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan shahih gharib, tidak kami ketahui kecuali dari jalur ini.”)

Agar Dimudahkan Melunasi Hutang

اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَاغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Ya Allah, cukupkanlah diriku dengan rizki-Mu yang halal dari rizki-Mu yang haram dan cukupkanlah diriku dengan keutamaan-Mu dari selain-Mu.” (HR. At-Tirmidzi dalam Kitabud Da’awat, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lihat Shahihul Jami’ no. 2622, karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Istiqamah di Atas Al-Haq

رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“(Mereka berdoa): ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Ali ‘Imran :

Doa Memohon Petunjuk, Ketakwaan, dan Kecukupan Diri

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon petunjuk, ketakwaan, diri yang terjaga dan kecukupan kepada-Mu.” (HR. Muslim, no. 6842)

An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Al-‘Afaf adalah menjaga dan menahan diri dari perkara-perkara yang tidak diperbolehkan (oleh syariat). Al-Ghina adalah kecukupan jiwa dari manusia dan apa yang ada di tangan-tangan mereka (yakni harta mereka).” (Syarh Shahih Muslim, 17/43)

Doa Istisqa` (Minta Hujan)

اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا

Ya Allah, turunkan hujan kepada kami. Ya Allah, turunkan hujan kepada kami. Ya Allah, turunkan hujan kepada kami.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Istisqa`, bab Al-Istisqa` fil Masjidil Jami’, no. 1013, dan Muslim dalam Kitabul Istisqa`, bab Du’a` fil Istisqa`, no. 2075, dari shahabat Anas radhiyallahu ‘anhu)

Dzikir Sesudah Shalat

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, mensyukuri-Mu, dan membaguskan ibadah kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud no. 1522 Kitabush Shalat, Bab Al-Istighfar, dari shahabat Mua’dz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu)

Do’a Naik Kendaraan

بِسْمِ اللهِ الْحَمْدُ لِلهِ سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ، الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْلِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ

Dengan menyebut nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Segala puji bagi Allah (3 kali), Allah Maha Besar (3 kali), Maha Suci Engkau ya Allah. Sesungguhnya aku telah mendzalimi diriku sendiri maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa melainkan Engkau.” (HR. Abu Dawud no. 2602, At-Tirmidzi no. 3443, lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 1653)

Doa Ketika Angin Kencang Bertiup

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ

وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, dan kebaikan yang ada padanya, dan kebaikan apa yang dibawanya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya, dan kejelekan yang ada padanya, dan kejelekan apa yang dibawanya.” (HR. Muslim no. 2082, Kitab Shalatil Istisqa`, bab berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika melihat angin…., dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Doa Berlindung Dari Kejelekan Amalan

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ وَمِنْ شَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ

Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari kejelekan amalan yang telah aku kerjakan dan yang belum aku kerjakan.” HR. Muslim no. 6833, Kitab Adz-Dzikr wad Du’a`,Bab At-Ta’awwudz min Syarri Ma ‘Amila wa min Syarri Ma Lam Ya’mal, dari Farwah bin Naufal Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu

Meruqyah Dengan Al-Qur`an dan Al-Muawwidzat

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفِثُ عَلىَ نَفْسِهِ فِي الْمَرَضِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ، فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِهِ نَفْسَهُ لِبَرَكَتِهَا

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu ketika beliau sakit yang membawa pada wafatnya, membaca Al-Mu’awwidzat (surat Al-Falaq dan An-Naas, –pent.). Kemudian beliau meludah disertai dengan tiupan pada kedua telapak tangannya, kemudian diusapkan ke wajah dan badannya. Ketika sakitnya bertambah parah, aku yang membacakan Al-Mu’awwidzat dan aku yang mengusapkan tangan beliau ke badannya untuk mencari barakah dari kedua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari)

Faedah: Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu membuat bab dalam kitab Shahih-nya sebelum membawakan hadits ini: Bab Meruqyah dengan Al-Qur`an dan Al-Mu’awwidzat. (Fathul Bari, 10/205)

Sumber: Kumpulan Do’a Do’a Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar.

MATERI ILMU TAJWID 17 Januari 2011

Posted by jihadsabili in Doa.
1 comment so far

MATERI ILMU TAJWID

khos untuk TPQ

TANDA-TANDA WAQAF DAN WASHAL

Waqaf artinya: sebaiknya berhenti.

م   ( وقف لا زم )     : harus berhenti

( معا نقه )      : berhenti di salah satu titik

ط   ( وقف مطلق )    : sebaiknya berhenti

قلى ( الوقف اولى )   : sebaiknya berhenti

قف ( الوقف )          : sebaiknya berhenti

ج   ( وقف جا ئز )    : boleh berhenti, juga boleh terus

Washol artinya: sebaiknya terus.

لا       ( الوقف ممنوع )       : sebaiknya terus

صلى   ( الوصل اولى )         : sebaiknya terus

ز        ( مجوز الوقف )        : sebaiknya terus

ص      ( مر خص الوقف )    : sebaiknya terus

ق       ( قيل هو وقف )         : sebaiknya terus

GHUNNAH

Ghunnah artinya mendengung. Hal ini berarti bahwa setiap ada huruf Nun atau Mim yang bertasydid maka hukum bacaannya dinamakan Ghunnah.

Contoh:

اِ نَّ       ثُمَّ        اِ نَّمَا       فَلَمَّا

HUKUM NUN SUKUN/TANWIN

Perbedaan Nun sukun atau Tanwin adalah sama dalam lafadz tetapi lain dalam tulisan. Adapun hukum Nun sukun atau Tanwin dibagi menjadi 6 macam, antara lain:

  1. Idghom Bighunnah

Idghom     : memasukkan

Bighunnah : dengan mendengung

Artinya: apabila ada Nun sukun atau Tanwin bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah yang berjumlah 4 huruf, antara lain:ي  ن م و atau biasa di singkat dengan bunyi يَنْمُوْ

Contoh:

مَنْ يَقُوْ لُ ( نْ- ي )           فَلَنْ نَِّزيْدَ كُمْ ( نْ- ن )

فَتْحًا مُبِيْنًا ( _ً  – م)           مِنْ وَّرَائِهِمْ ( نْ- و )

  1. Idghom Bilaghunnah

Idghom         : memasukkan

Bilaghunnah : dengan tanpa mendengung

Artinya: apabila ada Nun sukun atau Tanwin bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah yang berjumlah 2 huruf, antara lain: ل dan ر

Contoh:

مِنْ لَدُ نْكَ ( نْ- ل )                   غَفُوْرٌرَحِيْمٌ ( _ٌ – ر)

  1. Idzhar

Idzhar berarti: jelas atau terang

Artinya: apabila ada Nun sukun atau Tanwin bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah yang berjumlah 6 huruf, antara lain: ﻫ  أ ح خ ع غ

Contoh:

كُفُوًا اَحَدٌ ( _ً – ا)              مِنْ حَيْثُ ( نْ – ح )           مَنْ خَفَّتْ ( نْ – خ )

خُلُقٍ عَظِيْمٍ ( ٍ – ع )          قَوْ مًا غَيْرَ كُمْ ( _ً -غ)        لَكُمُ اْلاَ نْهَا َر ( نْ – ﻫ )

  1. Iqlab

Iqlab berarti:

Artinya: apabila ada Nun sukun atau Tanwin bertemu dengan satu huruf dari huruf hijaiyyah yaitu: ب

Contoh:

مَنْ بَخِلَ ( نْ – ب )                 عَوَا نٌ بَيْنَ ( _ٌ – ب)

  1. Ikhfa’

Ikhfa’ berarti: samar-samar

Artinya: apabila ada Nun sukun atau Tanwin bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah yang berjumlah 15 huruf, antara lain:

ت ث ج د ذ ز س ش ص ض ط ظ ف ق ك

Contoh:

مِنْ تَحْتِهَا ( نْ – ت )             مَاءً ثَجَا جًا ( _ً – ث)            اَنْجَيْنَا كُمْ ( نْ – ج )

قِنْوَانٌ دَانِيَةٍ ( _ٌ – د)             مَنْ ذَالَّذِ يْ ( نْ – ذ)             يَوْمَئِذٍ زُرْقًا ( ٍ – ز )

اِنَّ اْلاِ نْسَا نَ ( نْ – س )        عَذَا بٌ شَدِ يْدٌ ( _ٌ – ش)        قَوْ مًا صَا لِحِيْنَ ( _ً – ص)

مُسْفِرَ ةٌ ضَا حِكَةٌ ( _ٌ – ض)    وَمَا يَنْطِقُ ( نْ – ط)             عَنْ ظُهُوْرِهِمْ ( نْ – ظ)

عُمْيٌ فَهُمْ ( _ٌ – ف)               رِزْقًا قَا لُوْا ( _ً – ق)          مَنْ كَا نَ يَرْجُوْا ( نْ – ك)

HUKUM MIM SUKUN

Hukum Mim sukun dibagi menjadi 3 macam, antara lain:

  1. Idghom Mitsli (Idghom Mimi)

Artinya: apabila ada Mim sukun bertemu dengan Mim

Contoh:

كُنْتُمْ مُسْلِمِيْنَ ( مْ – م )

  1. Ikhfa’ Syafawi

Artinya: apabila ada Mim sukun bertemu dengan Ba’

Contoh:

تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ ( مْ – ب )

  1. Idzhar Syafawi

Artinya: apabila ada Mim sukun bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah selain Mim dan Ba’

Contoh:

هُمْ نَا ئِمُوْنَ ( مْ – ن )                   اَمْ لَمْ تُنْدِ رْ هُمْ ( مْ – ت )

الخ ……..

HUKUM IDGHOM

Hukum Idghom dibagi menjadi 3 macam, antara lain:

  1. Idghom Mutamatsilain

Artinya: jika ada huruf yang sama, yang pertama sukun dan yang kedua hidup.

Contoh:

اِضْرِ بْ بِعَصَا كَ ( بْ – بِ )

  1. Idghom Mutajanisain

Dinamakan Idghom Mutajanisain jika TA sukun bertemu THA, THA sukun bertemu TA, TA sukun bertemu DAL, DAL sukun bertemu TA, LAM sukun bertemu RA, DZAL sukun bertemu ZHA.

Contoh:

(تْ- ط )   قَالَتْ طَا ئِفَة ٌ         ( طْ- ت )  لَئِنْ بَسَطْتَ            ( تْ- د )  اَثْقَلَتْ دَ عَوَا

( دْ- ت )   قَدْ تَبَيَّنَ                ( لْ- ر )  قُلْ رَبِّ                  ( ذْ- ظ )   اِذْ ظَلَمُوْا

  1. Idghom Mutaqorribain

Dinamakan Idghom Mutaqorribain jika TSA sukun bertemu DZAL, QAF sukun bertemu KAF, BA sukun bertemu MIM.

Contoh:

( ثْ- ذ )  يَلْهَثْ ذ لِكَ             ( قْ- ك )  اَلَمْ نَخْلُقْكُمْ             ( بْ- م ) يبُنَيَّ ارْ كَبْ مَعَنَا

QALQALAH

Qalqalah artinya memantul. Huruf Qalqalah ada lima, antara lain:

ق ط ب ج د biasa disingkat dengan bunyi   قَطْبُ جَدٍّ

Contoh:

ق- يَقْرَ أُ          ط- يَطْهَرُ           ب- يَبْخَلُ           ج- يَجْعَلُ           د- يَدْ خُلُ

Qalqalah dibagi dua:

  1. Qalqalah Sughra

Adalah: huruf Qalqalah yang matinya asli, sebagaimana contoh diatas.

  1. Qalqalah Kubra

Adalah: huruf Qalqalah yang matinya disebabkan waqaf.

Contoh:

خَلَقَ dibaca   خَلَقْ               اَحَدٌ dibaca اَحَدْ

LAFADZ ALLAH

Hukum lafadz Allah dibagi dua, yaitu:

  1. Dibaca tafkhim, jika lafadz Allah didahului harakat fathah atau dhummah.

Contoh:

وَاللهُ           نَصْرُ اللهِ

  1. Dibaca tarqiq, jika lafadz Allah didahului harakat kasroh.

Contoh:

بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمنِ ا لرَّ حِيْمِ

HURUF SYAMSIYAH DAN QAMARIYAH

Huruf Syamsiyah dan huruf Qamariyah jumlahnya sama yaitu masing-masing ada 14 huruf.

  1. Huruf Syamsiyah: jika ada  ال bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah yang berjumlah 14, antara lain:

ت ث د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ل ن

Contoh:

وَالتِّيْنِ         اَلدُّ نْيَا         وَالشَّمْسِ           النِّعْمَةِ

الخ……

  1. Huruf Qamariyah: jika ada ال   bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah yang berjumlah 14, antara lain:

ب ج ح خ ع غ ف ق ك م و ﻫ ء ي

Contoh:

اَلْجُمُعَةُ           اَلْخَيْرُ           اَلْفِيْلُ            اَلْكَبِيْرُ

الخ……

IDZHAR WAJIB

Dinamakan Idzhar Wajib, jika ada Nun sukun atau Tanwin bertemu huruf YA atau WAWU dalam satu kalimat. Cara membacanya: terang atau jelas. Namun, didalam Al-Qur’an bacaan Idzhar Wajib ini hanya ada 4, yaitu:

اَلدُّ نْيَا              بُنْيَانٌ                 صِنْوَانٌ                    قِنْوَانٌ

HUKUM RA’

Hukum Ro’ ada dua:

  1. Ro’ yang dibaca Tafkhim

Ciri-ciri:

  1. Ro’ fathah, Ro’ fathah tanwin.
  2. Ro’ dhummah, Ro’ dhummah tanwin.
  3. Ro’ sukun didahului fathah atau dhummah.
  4. Ro’ sukun didahului kasrah ada hamzah washal.
  5. Ro’ sukun didahului kasrah bertemu huruf isti’la’.

Contoh:

a)      رَ- رًا        رَبَّنَا                  خَيْرًا

b)      رُ- رٌ         رُوَيْدًا                كَبِيْرٌ

c)      _َ _ُ  _ْ      اَرْ سَلَ              قُرْ ا نٌ

d)     _ِ ا رْ        اَ مِرْ تَا بُوْا         اِ رْ جِعُوْ ا

e)      _ِ رْ – خ ص ض ط ظ غ ق   مِرْ صَا دٌ         قِرْ طَا سٌ

  1. Ro’ yang dibaca Tarqiq

Ciri-ciri:

a)      Ro’ kasrah, Ro’ kasrah tanwin.

b)      Ro’ sukun didahului kasrah.

c)      Ro’ hidup didahului Ya’ dibaca waqaf.

Contoh:

a)      رِ- رٍ         رِجْسٌ            خُسْرٍ

b)      _ِ  رْ         فِرْ عَوْ نَ        فَكَبِّرْ

c)      _َِ ي  ُِ ر ٌٍ    خَيْرٌ              بَصِيْرٍ

HUKUM MAD

Hukum Mad dibagi dua:

  1. Mad Thabii

Yang dinamakan dengan mad Thabi’i, adalah: jika fathah diikuti ALIF, kasrah diikuti YA, dhummah diikuti WAWU. Panjang bacaannya: satu alif (dua harakat)

Contoh:

دَا – دِيْ – دُوْ       نُوْ حِيْهَا

  1. Mad Far’i

Mad Far’i dibagi menjadi 13, antara lain:

  1. Mad wajib muttashil

ialah: Mad Thabii bertemu hamzah dalam satu kalimat. panjang bacaannya: 2,5 alif (5 harakat).

Contoh:

جَاءَ               لِقَاءَ نَا             نِدَاءً

  1. Mad jaiz munfashil

ialah:   Mad Thabii bertemu hamzah (bentuknya huruf alif) di lain kalimat. Panjang bacaannya: 2,5 alif (5 harakat).

Contoh:

اِنَّا اَعْطَيْنَا                   اِنَّا اَ نْزَلْنَا

  1. Mad ‘aridh lissukun

ialah:  Mad Thabii bertemu huruf hidup dibaca waqaf. Panjang bacaannya:  3 alif (6 harakat).

Contoh:

اَبُوْكَ = اَبُوْكْ                عِقَا بِ = عِقَا بْ

  1. Mad ‘iwadh

ialah:  jika ada fathah tanwin yang dibaca waqaf, selain TA’ marbuthah. Panjang bacaannya: 1 alif (2 harakat).

Contoh:

عَلِيْمًا = عَلِيْمَا

  1. Mad shilah

ialah: setiap dhomir HU dan HI apabila didahului huruf hidup. Mad shilah dibagi dua, yaitu: Mad shilah qashirah dan Mad shilah thawilah. Yang dinamakan Mad shilah thawilah, adalah Mad shilah qashirah bertemu huruf hamzah (bentuknya alif).

Panjang bacaan Mad shilah qashirah: 1 alif (2 harakat).

Contoh:

لَه‘-  بِه

Panjang bacaan Mad shilah thawilah: 2,5 alif (5 harakat).

Contoh:

اَنَّ مَا لَه اَخْلَدَه

  1. Mad badal

ialah:   setiap Aa, Ii, Uu yang dibaca panjang. Panjang bacaannya: 1 alif (2 harakat).

Contoh:

امَنُوْا              اِيْتُوْ نِيْ                  اُوْ تِيَ

  1. Mad tamkin

ialah:  YA kasrah bertasydid bertemu YA sukun. Panjang bacaannya: 1 alif (2 harakat).

Contoh:

اُمِّيِّيْنَ                   حُيِّيْتُمْ                 نَبِيِّنَ

  1. Mad lin

ialah:  fathah diikuti WAWU atau YA sukun bertemu huruf hidup dibaca waqaf. Panjang bacaannya: 3 alif (6 harakat).

Contoh:

خَوْ فٌ = خَوْفْ                   اِلَيْهِ = اِلَيْهْ

  1. Mad lazim mutsaqqal kalimi

ialah: Mad Thabii bertemu tasydid. Panjang bacaannya: 3 alif (6 harakat).

Contoh:

وَ لاَ الضَا لِّيْنَ

  1. Mad lazim mukhaffaf kalimi

ialah: Mad badal bertemu sukun. Panjang bacaannya: 3 alif (6 harakat).

Contoh:

ا لاْنَ

  1. Mad lazim musyabba’ harfi

ialah:  huruf hijaiyyah yang dibaca panjangnya 3 alif (6 harakat). Jumlah hurufnya ada 8, yaitu:

ن ق ص ع س ل ك م

Contoh:

ن   ق   ص    ا لمّ      ا لمّص

  1. Mad lazim mukhaffaf harfi

ialah:  huruf hijaiyyah yang dibaca panjangnya 1 alif (2 harakat). Jumlah hurufnya ada 5, yaitu:

ح ي ط ﻫ ر

Contoh:

طه          يس           عسق         كهيعص            ا لمّر

  1. Mad farq

ialah: Mad badal bertemu tasydid. Panjang bacaannya: 3 alif (6 harakat).

Contoh:

قُلْ اْلا للهُ

Ya Alloh, Hisablah Aku Dengan Hisab Yang Mudah 16 Januari 2011

Posted by jihadsabili in Doa.
add a comment

Ya Alloh, Hisablah Aku Dengan Hisab Yang Mudah

Sebuah doa yang patut kita hafal dan amalkan demi meraih kemudaan saat dihisab di akhirat kelak. 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى بَعْضِ صَلاَتِهِ «اللَّهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيرًا ». فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ مَا الْحِسَابُ الْيَسِيرُ قَالَ « أَنْ يَنْظُرَ فِى كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ عَنْهُ إِنَّهُ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَوْمَئِذٍ يَا عَائِشَةُ هَلَكَ وَكُلُّ مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةُ تَشُوكُهُ »

 

Dari Aisyah, ia berkata, saya telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian shalatnya membaca, “Allahumma haasibnii hisaabay yasiiroo (Ya Allah hisablah aku dengan hisab yang mudah).” Ketika beliau berpaling saya bekata, “Wahai Nabi Allah, apa yang dimaksud dengan hisab yang mudah?” Beliau bersabda, “Seseorang yang Allah melihat kitabnya lalu memaafkannya. Karena orang yang diperdebatkan hisabnya pada hari itu, pasti celaka wahai Aisyah. Dan setiap musibah yang menimpa orang beriman Allah akan menghapus (dosanya) karenanya, bahkan sampai duri yang menusuknya.”[1]

 

Yang dimaksud dengan do’a tersebut diterangkan dalam hadits di atas. Maksud “hisab yang mudah” adalah saat di mana dosa-dosa seorang mukmin di hadapkan pada Allah, lalu ia pun mengakui dosa-dosanya itu. Kemudian setelah itu Allah mengampuni dosa-dosanya setelah ia bersendirian dengan Allah dan tidak ada seorang pun yang melihatnya ketika itu.

Dari Shafwan bin Muhriz bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada Ibnu Umar, “Bagaimana Anda mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang An Najwa (bisikan di hari kiamat)?” Ibnu Umar menjawab,

 

يَدْنُو أَحَدُكُمْ مِنْ رَبِّهِ حَتَّى يَضَعَ كَنَفَهُ عَلَيْهِ فَيَقُولُ عَمِلْتَ كَذَا وَكَذَا . فَيَقُولُ نَعَمْ . وَيَقُولُ عَمِلْتَ كَذَا وَكَذَا . فَيَقُولُ نَعَمْ . فَيُقَرِّرُهُ ثُمَّ يَقُولُ إِنِّى سَتَرْتُ عَلَيْكَ فِى الدُّنْيَا ، فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ

 

Yaitu salah seorang dari kalian akan mendekat kepada Rabb-nya. Kemudian Dia meletakkan naungan-Nya di atasnya. Kemudian Dia berfirman, “Apakah kamu telah berbuat ini dan ini?” Hamba itu menjawab, “Ya, benar.” Dia berfirman lagi, “Apakah kamu telah melakukan ini dan ini?” Hamba itu menjawab, “Ya, benar.” Dia pun mengulang-ulang pertanyannya, kemudian berfirman, “Sesungguhnya Aku telah menutupi dosa-dosa tadi (merahasiakannya) di dunia dan pada hari ini aku telah mengampuninya bagimu.”[2]

Inilah yang dimaksudkan dengan hisab yang mudah di mana dosa-dosa seorang hamba yang beriman itu dimaafkan.

Moga Allah mudahkan bagi kita untuk mendapatkan kemudahan hisab semacam ini di akhirat kelak saat hari perhitungan.Aamiin Yaa Mujibad Du’aa’.

 

Referensi:

Syarh Do’a minal Kitab was Sunnah (Sa’id bin Wahf Al Qohthoni), Mahir bin ‘Abdul Humaid bin Muqoddam, soft file (.doc)

 

Riyadh-KSA, 8 Shofar 1432 H (12/01/2011)

www.rumaysho.com

MEMPERLAMA SUJUD TERAKHIR DALAM SHALAT UNTUK BERDOA ? 12 Januari 2011

Posted by jihadsabili in Doa, shalat.
add a comment

 

Adakah Anjuran Memperlama Sujud Terakhir untuk Berdo’a?
Bismillah, Segala puji bagi Allah, pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Kita ketahui bersama bahwa do’a ketika sujud adalah waktu terbaik untuk berdo’a. Seperti disebutkan dalam hadits,
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.” (HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah)
Namun seringkali kita lihat di lapangan, sebagian orang malah seringnya memperlama sujud terakhir ketika shalat, tujuannya adalah agar memperbanyak do’a ketika itu. Apakah benar bahwa saat sujud terakhir mesti demikian? Semoga sajian singkat ini bermanfaat.

Al Baro’ bin ‘Azib mengatakan,
كَانَ رُكُوعُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَسُجُودُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنَ السَّوَاءِ
“Ruku’, sujud, bangkit dari ruku’ (i’tidal), dan duduk antara dua sujud yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya hampir sama (lama dan thuma’ninahnya).” (HR. Bukhari no. 801 dan Muslim no. 471)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya,
“Apakah diperkenankan memperpanjang sujud terakhir dari rukun shalat lainnya, di dalamnya seseorang memperbanyak do’a dan istighfar? Apakah shalat menjadi cacat jika seseorang memperlama sujud terakhir?”
Beliau rahimahullah menjawab,
“Memperpanjang sujud terakhir ketika shalat bukanlah termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena yang disunnahkan adalah seseorang melakukan shalat antara ruku’, bangkit dari ruku’ (i’tidal), sujud dan duduk antara dua sujud itu hampir sama lamanya. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Baro’ bin ‘Azib, ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendapati bahwa berdiri, ruku’, sujud, duduk beliau sebelum salam dan berpaling, semuanya hampir sama (lamanya). ” Inilah yang afdhol. Akan tetapi ada tempat do’a selain sujud yaitu setelah tasyahud (sebelum salam). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan ‘Abdullah bin Mas’ud tasyahud, beliau bersabda, “Kemudian setelah tasyahud, terserah padamu berdo’a dengan doa apa saja”. Maka berdo’alah ketika itu sedikit atau pun lama setelah tasyahud akhir sebelum salam. (Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 376, side B)
Dalam Fatawa Al Islamiyah (1/258), Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui adanya dalil yang menyebutkan untuk memperlama sujud terakhir dalam shalat. Yang disebutkan dalam berbagai hadits, rukun shalat atau keadaan lainnya itu hampir sama lamanya.”
Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah juga menjelaskan, “Aku tidak mengetahui adanya dalil yang menganjurkan untuk memperlama sujud terakhir dalam shalat. Akan tetapi, memang sebagian imam melakukan seperti ini sebagai isyarat pada makmum bahwa ketika itu adalah raka’at terakhir atau ketika itu adalah amalan terkahir dalam shalat. Karenanya, mereka pun memperpanjang sujud ketika itu. Dari sinilah, mereka maksudkan agar para jama’ah tahu bahwa setelah itu adalah duduk terakhir yaitu duduk tasyahud akhir. Namun alasan semacam ini tidaklah menjadi sebab dianjurkan memperpanjang sujud terakhir ketika itu.” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, Ahkam Qoth’ush Sholah, Fatawan no. 2046 dari website beliau)
Dari penjelasan singkat ini, nampaklah bahwa tidak ada anjuran untuk memperlama sujud terakhir ketika shalat agar bisa memperbanyak do’a ketika itu. Yang tepat, hendaklah gerakan rukun yang ada sama atau hampir sama lamanya dan thuma’ninahnya. Silakan membaca do’a ketika sujud terakhir, namun hendaknya lamanya hampir sama dengan sujud sebelumnya atau sama dengan rukun lainnya. Apalagi jika imam sudah selesai dari sujud terkahir dan sedang tasyahud, maka selaku makmum hendaklah mengikuti imam ketika itu. Karena imam tentu saja diangkat untuk diikuti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ
“Imam itu diangkat untuk diikuti, maka janganlah diselisihi.” (HR. Bukhari no. 722, dari Abu Hurairah)
Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal

 

Referensi :  Al Islam Sual wa Jawab (http://islamqa.com/ar/ref/111889/ )

Sumber : http://www.muslim.or.id